Mahasiswa Kura-kura

2:29 AM Unknown 0 Comments



Tulisan ini adalah hasil dari perbincangan saya dengan seorang teman yang saya yakin tidak ingin disebutkan namanya. Bisa ngamuk dia kalau namanya saya ekspos di sini.
Begini ceritanya.
Berawal dari aksi protes saya yang saya ungkapkan selembut dan sebijak mungkin. Entah berhasil atau tidak saya jadi lembut dan bijak saat itu.
Pada si teman yang dirahasiakan itu saya berkata,
“Mboh ya dijaga keseimbangan peran sama aktivitasnya toh, Nduk… jangan sampai jadi aktivis dengan berbagai pengalaman yang menakjubkan, menjadikan kuliah kamu terbengkalai…”
Dengan percaya diri over dosisnya (seperti biasa) dia berapologi, kalau bahasa ngetrend-nya beralibi, atau bahasa psikologinya defence mechanism. Dia bilang gini,
“Bukan terbengkalai, hanya tertunda, dan nanti… pada saat yang tepat ya disiasati. Apa yang tertunda itu diselesaikan kembali. Kita kan punya skala prioritas, nah saat ini kenapa saya memprioritaskan urusan organisasi, sampai rela tidak kuliah dan tidak tidur berhari-hari, itu karena yang menjadi pertaruhannya bukan hanya diri sendiri, tapi ini menyangkut kepentingan orang banyak, kepentingan umat, nama organisasi, dan kepercayaan instansi. Coba bayangkan berapa banyak orang yang merasa dirugikan jika acara ini nanti tidak jadi terlaksana? Berapa banyak kerugian yang harus kita tanggung? Nah, kalau saya nggak kuliah kan, resikonya hanya diri saya sendiri yang tanggung, paling nilainya jelek, paling nggak lulus, kan gampang tinggal ngulang lagi.”
Jessss!
Saya hanya mampu melongo dengan tablo-nya mendengar ungkapan si teman. Dengan entengnya dia bilang kalau nggak lulus gampang tinggal ngulang lagi!
Saya yang pada dasarnya kalo punya argumen maunya diungkapkan terus, kali itu tidak ingin kalah. Secara sebagai teman yang baik hati dan tidak sombong saya care doong sama dia.
Oke, saya setuju dengan sikap dia yang ‘memprioritaskan urusan umat’. Memang benar juga kalau keahlian berorganisasi, termasuk cara-cara birokrasi tidak diajarkan di bangku kuliah, jangankan prakteknya, materinya juga nggak ada. Dan memang benar juga bahwa ada saatnya (mumpung masih muda juga) kita memberi sebanyak-banyaknya, sebelum menerima sebanyak-banyaknya. Dan benar juga pengalaman seperti ini sangatlah mahal dan tidak mungkin didapatkan lagi selain semasa jadi mahasiswa. Pun, benar, bahwa semua ini akan menjadi bekal yang amat berharga bagi kita dalam menghadapi masa depan yang tentu penuh tantangan. Benar, semuanya benar. Seperti biasa teman saya yang satu ini selalu membuat saya membenarkan pendapatnya selepas berdebat dan berpikir sekian lama.
Saya jadi ingat perkataan seorang pemateri yang menyampaikan materi ‘manajemen aksi’ dalam acara pengkaderan mahasiswa baru di jurusan saya. Beliau bilang,
“Jangan sampai kuliah mengganggu organisasi.”
Serentak kita bilang,
“Kebaliiiik…!”
Di situ spontan saya mikir, nih panitia nggak salah milih pemateri ya? Masa ngajarin biar kuliah nggak bener!
Sebagai mahasiswa baru yang akademis, hanya itulah yang ada di benak saya. Tapi perlahan… seiring bertambahnya pengalaman organisasi yang saya dapatkan (meskipun belum seberapa banyak), barulah saya memahami bahwa ada sensasi tersendiri yang saya temukan dengan menjadi seorang organisatoris. Meski begitu, berbeda dengan teman saya yang sejak tadi saya ceritakan, bagi saya, akademik tetap jadi prioritas, ya… meskipun dengan berorgainsasi porsinya jadi terbagi. Setidaknya, saya berpendapat bahwa siapa bilang dampak dari kuliah yang terbengkalai (ups, tertunda) hanya pada diri sendiri? Bagi saya tidak begitu, kuliah yang dijalani tidak dengan sepenuh hati, atau tidak diprioritaskan, tidak hanya berdampak bagi diri sendiri saja. Kalau saya tidak lulus, lalu harus ngulang mata kuliah, tentu itu menghambat kelulusan saya dan saya harus nambah waktu kuliah satu tahun lagi. Kalau sudah begitu, siapa yang mau membiayai? Beasiswa dari orang tua juga kan? Jadi, siapa yang ikut kecewa dalam masalah ini? Yups, orang tua, teman!
Selain orang tua, siapa lagi hayoo… yang terdzolimi kalau kamu telat lulus?
Hmm… itu  sih kamu sendiri yang lebih tahu.
Intinya yang mau saya sampaikan itu begini, ketika saya merasa was-was karena belum menunaikan tanggung jawab sebagai suatu bagian dari sebuah organisasi, saya harap saya juga bisa selalu ingat, bahwa ketika saya tidak memiliki waktu untuk pulang kayak bang toyib (saking sibuknya, ceritanya) itu berarti saya telah mengabaikan tanggung jawab sebagai anak. Bagaimanapun, peran saya di muka bumi ini (cielaah..) sangatlah banyak. dan saya harus menjaga keseimbangan dalam menunaikan tugas sebagai peran-peran itu. Peran sebagai hamba Allah, sebagai anak dari orang tua, sebagai kakak bagi adik, sebagai mahasiswa di sebuah PT, sebagai warga Negara di Indonesia, sebagai aktivis di suatu organisasi, sebagai penulis (aamiin..), sebagai sahabat bagi sahabat-sahabat saya, sebagai pembeli bagi swalayan borma, alfamart, yomart, warung tetangga kost-an, tukang gorengan, warung nasi, warung tegal, mamang batagor, mamang es jus, mamang cendol, eskrim cingcau, es doger… (pengen jitak gak sih?).
Ya sudah lah, dari pada dijitak beneran, saya pamit ya…
Pesan untuk kita semua mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat), mari kita saling mengingatkan untuk menjaga keseimbangan dalam menjalankan peran-peran kita.
“MARIIIII….!”
Tawashaubi Al-Haq wa tawashoubi As-Shabri

0 comments: