Mengejar Bidadara

12:42 AM Unknown 0 Comments


Kesan pertama. Tema itu yang akan mengawali ceritaku. Jam di handphoneku menunjukkan pukul 14.06. Kemarin, jam segini aku sedang bengong karena terpesona. Tanpa kusadari mungkin saat itu mataku tak mampu berkedip dan mulutku menganga. Duh, tablo (tampang blo-on) banget!
            ”Keren!”                                             
            Komentar seorang teman di sebelahku. Aku mengangguk setuju. Bener, sangat super keren sekali. Ini pertama kalinya semenjak masuk universitas 3 bulan yang lalu, aku memiliki pendapat seperti ini terhadap seorang laki-laki.
            Jangan beranggapan konotasi keren versi aku adalah laki-laki ganteng atau manis, tinggi, gagah, muda, dengan style pakaian dan rambut necis abis kayak Bred Pitt atau Kim Hyung joong si aktor Korea. Jauuh...! nggak ada dalam kamus hidupku tertarik pada laki-laki tampan tajir populer tapi otak meler.
            Simak terus ceritaku karena laki-laki yang satu ini benar-benar beda. Inilah pria!
            Caranya menyampaikan materi di sebuah training yang kuikuti, bagaikan sulap dapat menghipnotis semua peserta training itu menjadi tak berdaya (duh, hiperbola banget ya?). yang jelas, semua wanita dibuat terpesona dan semua laki-lakinya dibuat iri seketika. Rasain dah, biar pada nyadar tuh mereka, modal tampang doang tuh gak ada apa-apanya! Idealnya, ganteng, keker, pinter, bagus pula agamanya. Kayak dia, idolaku, Brillian Fairuz Mumtaz.
            Sebelum tahu namanya, aku fikir sang trainer punya nama Muhammad Sholihin, Abu Muhaimin atau Ustadz X. Maklum, training ini bertemakan Sukses Bergaul dan Sukses Spiritual.
            Yang lebih mengagetkan, saat itu, saat training dimulai dengan pembacaan CV trainernya, betapa tercengangnya aku (mungkin juga peserta lainnya) saat mengetahui usia sang trainer baru 20 tahun. Bayangkan, 20 tahun! Sekarang usiaku 19 dan aku tidak yakin satu tahun lagi aku bisa menjadi seperti dia: trainer dengan penguasaan public speaking yang bagus dan jam terbang hampir sudah keliling Indonesia, tinggal menunggu wisuda karena semua kontrak mata kuliah sudah selesai, memiliki bisnis di sana-sini hasil keringat sendiri, sederet prestasi yang membanggakan teramasuk juara tahfidz Quran plus tilawahnya, mengetuai berbagai organisasi, penulis pula, dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 di luar negeri. Puih! Aku ngiri.
            Hitungan detik, datanglah pria bernama Brillian itu ke hahadapan kami untuk menyampaikan pelatihannya. Subhanallah... itu orang apa bidadara?

$ $ $

            18.00
            Adzan maghrib berkumandang. Tugas statistik-ku belum selesai. Tanggung ah, bentar lagi shalatnya.
Kalo mau dapet yang baik, kitanya juga harus baik, Cit”.
            Kata-kata Alin tadi siang terngiang seolah mengingatkan. Kalau aku ingin dapat Brillian, yang ganteng, pinter, sholeh, plu-plus, plusnya banyak, akupun harus pinter dan sholeh juga. Cantiknya sih udah! So, aku ambil air wudhu sekarang.
            ” Lin, Ra... shalat berjamaah yuk...!’’

$ $ $

            Imsomnia. Sungguh, Ini nggak seperti biasanya! Seorang Citra nggak bisa tidur hanya gara-gara pria bak bidadara itu? Aku coba mendefinisikan perasaan yang tengah berkecamuk di dadaku ini, apa benar gara-gara dia super ganteng? Tentu bukan. Jika orang berasumsi bahwa cinta itu datang dari mata lalu turun ke hati, aku tidak sependapat. Karena dilihat dari berbagai definisinyapun, tidak ada pernyataan bahwa cinta adalah perasaan ingin selalu melihatnya karena wajahnya yang rupawan. Yang ada juga cinta itu sangat subjektif, rasiopun bisa kalah telak melawannya. Terlebih dalam kasusku objek cintanya itu adalah sosok yang, katakanlah sempurna.
            Aku membuka diary lamaku, bukan untuk mencurahkan perasaan tapi untuk membuka kembali lembaran-lembaran usang tulisanku di awal usia lima belas hingga tujuh belasan, banyak tersirat disana kisah-kisah cintaku dimulai dari yang kunamai cinta monyet, cinta lokasi, cinta lama bersemi kembali, sampai hubungan tanpa status. Bahkan ada yang kuberi judul kasih tak sampai. Maklum lagi buming-bumingnya grup band Padi dengan lagu yang satu itu.
            Lembaran-lembaran itu menjadi saksi betapa bodohnya aku, menuliskan kata-kata puitis, romantis, sekaligus pesimis dan pragmatis karena segala macam cinta buta di awal masa remajaku itu benar-benar kuhayati dengan sangat didramatisir. Lihatlah satu paragraf saja isinya yang kutuliskan dengan tinta berwarna pink.
            Jika saja aku tidak ingat malam ini aku sedang menginap di rumah tante Wina, pasti saat ini aku sudah menangis sejak tadi. Tahukah kamu apa penyebabnya dy? Sejak tiga bulan yang lalu aku selalu bercerita padamu tentang perasaan ‘aneh’ku pada Amran. Aku memuji-muji, memuja dan mengagungkannya. Hingga akhirnya akupun tahu Amran menaruh perasaan yang sama denganku. Berawal dari situ kitapun jadian, dengan bantuan salah satu sahabatku, Dwi, sebagai makcomblang. Baru saja hubungan kami berjalan sembilan hari, hari ini aku tahu dari sahabat-sahabatku yang lainnya bahwa Amran dan Dwi ternyata menjalin hubungan di belakang aku. Sakit sekali rasanya. Tapi malam ini aku tidur dengan Lita sepupuku, aku tidak boleh menangis. Malu!
Jan 13th 2006
Diiringi lagu ’ jenuh’-nya Rio Febrian
            Haha !!! episode yang ini judulnya TMT alias Teman Makan Teman.
            Geli sendiri aku membacanya. Kesimpulannya, jika dulu aku mengartikan cinta seperti itu, betapa dangkalnya konotasi cinta yang diagung-agungkan orang itu, yang katanya suci itu, yang banyak dijadikan alasan pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya, istri terhadap suaminya, bahkan mungkin kini aku terhadap brillian. Ah!

$$$

            Tidak ada yang mengetahui perasaanku terhadap sang trainer itu berlanjut sedemukian rupa seperti ini. Teman-teman sekost-an-ku, Alin dan Ira menganggap arti dari perasaanku hanya sebatas mengagumi dan menjadikannya motivator dan panutan untuk ditiru. Yang mereka tahu, aku yang ambisius dan perfeksionis tidak akan melewatkan sosok orang sukses begitu saja, seperti biasa, dengan semangat aku akan mengajak orang sukses itu berdiskusi kemudian mengikuti langkah-langkahnya yang membuatnya ekspert seperti sekarang ini.
            Di diary remajaku, aku mempelajari kembali gejala-gejala ’virus’ itu yang pernah aku rasakan dulu. Disitu pernah aku deskripsikan betapa sakitnya rindu, bahagianya bertemu, dan yang menakjubkan adalah, aku selalu bahagia jika objek cinta-ku merasa bahagia, aku sedih saat dia sedih, kemudian aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia. Ditegaskannya juga dalam tulisanku itu, aku melakukannya dengan sukarela, ridho ikhlas sepenuh hati. Aku jadi senyum sendiri. Perasaan itu terulang lagi.

$$$

            Tidak salah yang diduda Alin dan Ira, setelah selesai training saat itu, aku langsung meminta nomor kontak dan alamat email plus blog pribadinya untuk menjalin komunikasi yang lebih intens. Berawal dengan maksud mencari keuntungan pribadi. Sebagai mahasiswa baru tidak kupungkiri aku butuh informasi bagaimana cara belajar yang efektif di perguruan tinggi. Bagaimana menjalin hubungan baik dengan dosen, bagaimana cara untuk mendapatkan beasiswa, dan bagaimana-bagaimana yang lainnya.
            Jawaban dari berbagai pertanyaan yang aku lontarkan selalu sesuai dengan apa yang aku harapkan. Dia wellcome, dengan senang hati membantu, katanya. Teringat sebuah peribahasa jawa, witing tresno jalaran suko kelino, akupun semakin yakin mengenai apa yang tengah aku rasakan. Ini bukan lagi cinta monyet seperti masa remajaku dulu, bukan juga cinta lokasi. Jika saat ini aku berkata bahwa hatiku sakit menahan ini, ini bukan karena aku terlalu mendramatisinya, sungguh, aku semakin bingung karena tidak mungkin aku mengungkapkan gundah ini lebih dulu, tipe pria seperti dia akan menempuh pernikahan melalui proses ta’aruf. Menikah? Ya, aku serius.
            Aku mulai menyusun rencana, satu tahun lagi dia lulus dan itu artinya aku harus melepaskan Sang bidadara untuk terbang ke alam lain. Huh, lebay. Tapi begitulah kenyataannya. Dia akan melanjutkan S2-nya di luar Negeri. Rencanaku yang pertama, aku harus bicara pada murobbi (diam-diam aku punya murobbi lho!) -ku. Aku harus meyakinkan dia kalau aku sudah siap menikah. Insya Allah lahir bathin. Nggak boleh asal bicara, akupun harus meyakinkannya dengan bukti. Sisa uang makanku bulan ini sepertinya masih cukup untuk membeli buku-buku pra-nikah sekaligus resep-resep masakan untuk kucoba praktekkan di kost-an. Rencana keduanya, cukup nekat memang, aku akan bilang ke Mbak Riska, murabbiku itu, kalau aku cuman mau Brillian, Cuma Brillian. Rencana ketiga, aku akan bujuk mbak Riska untuk bicara dengan mas Raihan, kakak sekaligus wali Brillian agar menesehati brillian untuk cepat menikah dengan alasan hukum menikah untuknya adalah wajib mengingat Brillian sudah mapan, nikah dini itu dianjurkan untuk menjaga diri dan hati (materi itu juga yang dipraktekkan mbak Riska), dan terakhir.. karena sudah ada yang mau.

$$$

            Gerimis sore hari menemani langkahku menuju kediaman mbak Riska. Rintik-rintik begini menurutku tak usahlah bawa payung, sepertinya hujan tak akan membesar. Ira bilang, mana ada hujan besar.. yang ada tuh banyak. Deras sih iya, tapi sebenernya hujan Cuma satu, yang lainnya tuh temen-temennya.
            Jayus!
            ”ketawa dong..!!!” lanjutnya kemudian. Mau tidak mau akhirnya aku dan Alin tertawa juga saking kasihan sama Ira yang udah cape-cape mikir buat ngelucu.
            Inget momen itu aku tertawa sendiri. Sejenak saja. Karena sejenak kemudian aku sibuk merangkai kata untuk bicara ke mbak riska dengan bahasa yang tepat, logis, beralasan, dewasa dan meyakinkan. Bukan karena menuruti nafsu semata.
            Mendadak kilat berkelebat. Petir menggelegar. Aku menengadah, langit makin gelap. Sepertinya dugaanku salah. Aku harus cepat sampai agar tidak kehujanan. Kuperlebar langkahku dengan kecepatan yang lebih. Sedia payung sebelum hujan, sedia payung sebelum hujan. Peribahasa ringan, akrab ditelinga namun sering kuabaikan. Biarlah jadi hikmah di hari kemudian saja. Yang terpenting sekarang aku segera tiba di tempat tujuan. Rasa-rasanya sekarang ini akalku hanya tertuju pada satu objek. Mbak Riska!
            Dingin dan lelah sekali. Sedari tadi aku berlari tanpa hasil yang berarti. Tetap saja aku basah kuyup. Sampai sudah aku di rumah kontrakan murabbiku itu. Hujan makin deras.
            Mencoba menghalau dingin, perlahan aku tarik nafas. Sambil berusaha melepas lelah. Sesekali aku bersin. Hidungku meler.
            ”Assalamualaikum Mbak...”
            Tuturku sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Aku coba ulangi lagi dengan salam yang sama. Sayup-sayup terdengar sahutan dari dalam. Alhamdulillah... tapi aku makin menggigil.
            Terdengar langkah mbak riska makin mendekat ke arahku, dia hendak membukakan pintu. Yang terbersit olehku adalah handuk. Ya, aku mau langsung pinjam handuk saja.
            Perlahan pintu mulai dibukakan. Nampak seseorang yang cukup kukenal disana.
            “Citra kan? Anak psikologi yang sering chatting sama saya.”
            “I.. iya.” Jawabku terbata
             Kenapa dia ada disini? Jangan-jangan, dia udah menyatakan maksud dan tujuan yang sama denganku, jangan-jangan dia ada niat sama aku. Atau mungkin saja bukan sama aku. Tapi sama akhwat lain! Ya, yang lebih baik dari aku.
            Mbak Riska memanggilku dari dalam. Nampak kekhawatirannya melihatku yang menggigil kedinginan. Sebenarnya bukan dingin lagi yang kurasakan. Tapi bingung! Di kepalaku penuh dengan tanda tanya. Dan Mbak Riska adalah kunci jawabannya.
            ”Aduh Cit, sampai basah kuyup gini, masuk dulu yuk keringkan dulu badanmu.” ajaknya sambil merangkulku. Aku tidak bergeming. Sepertinya Mbak Riska menangkap kebingunganku.
            ”Oh ya, perkenalkan ini Mas Brillian. Suami mbak yang sering mbak ceritakan itu.”
            Sepertinya petir sedang menengkel tepat di atas kepalaku. Dingin semakin menjadi, namun mataku memanas. Seketika kurasakan tubuhku melebur. Pikiranku melayang. Memang bidadari seperti Mbak Riskalah yang pantas mendapatkan bidadara seperti Brillian. Adakah Allah ciptakan pria lain yang seperti dia?
             Kepalaku pening sekali. Diambang sadar aku berdoa, Allah... sisakan satu untukku.


Bingung!
16 nov’o9/09:57

0 comments: