Untuk Calon Pemimpinku

3:25 AM Unknown 0 Comments



Calon pemimpinku, dan pemimpin ummat,
Melangkah bersamamu adalah sebuah keputusan besar, yang kuiringi dengan kesyukuran besar, dan kesadaran akan adanya konsekuensi besar yang harus kuhadapi.
Jika benar engkau adalah perantara, terimakasihku atas peluang ini yang menegaskanku bahwa kelak di sinilah Allah menetapkan peran jihadku.
Calon pemimpinku, yang juga pemimpin ummat,
Engkau tahu bahwa jihadnya seorang perempuan adalah di rumah. Ijinkan aku berbahagia karena kan mengemban tugas mulia.
Aku ingin tetap di rumah kita, bukan karena tak tergerak untuk menebar manfaat bagi ummat, tapi engkau dan keluarga kita, kelak, kuazzamkan tuk menjadi prioritas utama.
Untuk keluarga kita, aku ingin menjadi sosok yang kan selalu ada. Karena aku tahu, tugasmu kan begitu berat dan terbagi. Kan kuikhlaskan kau tuk menjadi sosok yang diperlukan ummat, dan peranku adalah sebagai penyokong dan pendukung, dengan doa-doaku, kesabaranku, tenagaku, waktuku, pikiranku, dan diriku, untuk mencukupkan segala yang engkau dan keluarga kita butuhkan.
Calon pemimpinku sang pemimpin ummat,
Seperti juga dirimu, pun seperti apa yang telah dimulakan oleh Ummul Mu’minin, akupun kan ada untuk ummat, tapi takkan pernah perhatianku terhadap ummat membuat kalian iri, merasa terabaikan atau dinomorduakan. Karena kita semua, satu keluarga, saling mendukung, yang masing-masing mampu menjadi pelaku sejarah gemilangnya peradaban Islam.
Aamiin ya rabbal alamiin…

Jongko nasi goreng, Tegalega
23 Oktober 2011
Dalam dua jam pergulatan pikiran
Tentang pemimpinku di masa yang akan datang

0 comments:

Kelabu

3:15 AM Unknown 0 Comments


Ini pengalaman saya yang terjadi di sekitar kampus tercinta. Mungkin kawan-kawan lain ada yang pernah mengalami juga. Seorang bapak menghentikan langkah saya ketika hendak pergi ke warnet yang memang jauh dari kostan.
“Maaf neng, mau Tanya.” katanya
“Iya pak, mangga”
“Neng kalau kampung daun masih jauh dari sini gak ya?”
“Hmm… kurang tau ya pa.”
“Parompong, neng”
“Oh… iya masih jauh”
“Neng bisa tolong bapak tiga ribu?” sambungnya dengan wajah memelas.
“Oh maaf pak, saya sedang buru-buru” tolak saya sambil setengah berlari menjauhi bapak tersebut. Mungkin kesannya saya memang pelit, gak empati, tegaan, jahat, dan semua predikat negatif lain deh!
Sebenarnya saya yakin bapak tersebut bukan orang yang jahat dalam artian penculik yang akan menjual saya ke singapura. Saya bersikap seperti tu (pelit, judes, dll) semata karena kalimat pertanyaan yang saya dengar dan sosok seorang bapak yang saya lihat hari ini sama persis dengan apa yang saya dengar dan saya lihat ketika semester 3.
“neng, kalo parompong masih jauh gak ya?” tanyanya kala itu.
“wah masih harus naik angkot satu kali lagi, pak.”
“oh gitu ya? Neng bias tolongin bapa gak? Bapak mau ke tempat sodara, uang bapak tinggal seribu lima ratus lagi. Kalau ada bapak boleh ditolongin tiga ribu rupiah saja neng?”
Hati siapa yang tidak terketuk, saya kira, ketika dihadapan kita jelas-jelas ada seorang musafir yang membutuhkan kita, dan keadaan kitapun sangat mampu untuk mengulurkan tangan untuknya. Saat itu, dalam pikiran saya, semoga bapak tersebut sampai di tempat sodaranya dengan selamat tanpa kekurangan ongkos lagi.
Itu kali pertama.
Kali kedua, bapak yang sama dengan kalimat yang sama saya temui lagi pada semester berikutnya. Dan hari ini, tepatnya tadi pagi adalah kali ketiga bapak itu “menyapa” saya. Heran saya, apa orang itu nggak ingat ya kalau saya pernah menjadi orang yang begitu percaya pada actingnya? Maaf pak, saya tidak akan tertipu lagi.
Bukan uang tiga ribu rupiah yang saya permasalahkan. Saya kira begitu juga pendapat teman-teman lain yang pernah mengalaminya.
Memang, dalam memberi sepatutnya kita tidak pilih-pilih, karena tentu kitapun tidak ingin Allah akan memperhitungkan dahulu amalan kita sebelum menganugerahkan nikmatnya. Lagi pula dengan meminta seperti itu, kita tahu benar bahwa peminta tersebut memang sedang membutuhkan. 
Tapi bagi saya, memberi bantuan pada orang seperti itu berarti membenarkan perilakunya, sedangkan kita mengerti bahwa menipu adalah perbuatan yang salah. Kita tidak mungkin bukan, membenarkan perilaku penipuan?
Sebenarnya, tadi pagi inginnya saya mengatakan secara prontal pada bapak itu bahwa saya sudah tahu niat buruknya. Inginnya juga saya bertanya tentang jumlah orang yang ia kelabui dalam satu hari, juga tentang penghasilan yang ia dapatkan setiap hari dari “pekerjaannya”, saya juga ingin bertanya tentang motifnya, berapa jumlah anaknya, jumlah istrinya, serta jumlah keperluan sehari-harinya yang membuatnya harus mengelabui setiap orang (mungkin mahasiswa) yang ia temui di jalan-jalan sepi.
Saya lihat bapak tersebut sehat-sehat saja. Jika dilihat dari fisik tentu saja. Karena secara psikis, orang seperti itu tidak bisa dikatakan sehat.  Secara psikologis orang seperti ini tidak memiliki semangat untuk bekerja secara layak. Mungkin minimnya lapangan pekerjaan serta tidak adanya keterampilan dapat dijadikan alasan. Ditambah lagi dengan “pekerjaan”nya yang sekarang ini ia merasa mendapatkan kepuasan secara materi, dengan hanya bermodalkan jalan-jalan di tempat yang sepi kemudian mengumbar keprihatinannya sebagai seorang musafir yang kehabisan bekal.
Apapun alasannya, yang salah tetaplah salah, bukan? Al-halaulu bayyinun wal haramu bayyinun. Yang halal itu jelas begitupun dengan yang haram. Saya hanya berharap bapak tersebut atau siapapun yang berperilaku demikian, dapat memutar jalan dengan mengikuti petunjuk dari kata hatinya. Jika saja orang tersebut (atau kita sekalipun) tidak mengetahui hukum dari suatu perkara, sesungguhnya kata hati kita akan mengatakan kebenarannya.

Ihdinaa shiraathol Mustaqiim
Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak hanya mengetahui, tapi juga dapat mengamalkan segala perintah-Nya.

0 comments:

Superboy dan Icih (Part 1)

3:44 AM Unknown 0 Comments


Iseng-iseng berhadiah. Ceritanya sekarang schedulenya saya ngerjain tugas-tugas kuliah yang super duper numpuk. Tapi karena kasihan sama otak kiri yang diporsir terus-menerus (meskipun sambil dengerin musik yang menggunakan otak kanan), tapi saya butuh refreshing. Akhirnya saya memutuskan break dulu ngerjain tugasnya 1 x 15 menit dengan menulis cerita ini.
Ini adalah dongeng menjelang tidur yang diceritakan oleh teman saya yang paling narsis sedunia. 
Judulnya “Superboy dan Icih”.
Dari judulnya saja sudah terbayang kalau si Superboy berasal dari Amerika sedangkan Icih dari pedalaman Garut Selatan (aduh… orang garut, afwan. Bukan maksud) ^^V
Dinamai Superboy, karena menurut cerita teman saya, tokoh ini adalah seorang pria super.  Saking supernya semua orang di dunia antah berantah mengenalnya. 
(di dunia nyata, saya cuman bisa manggut-manggut mendengar cerita dari teman saya ini. diiyakan saja biar cepet ah! Pikir saya)
Adalah Icih, seorang gadis biasa yang tidak pernah melewatkan momen-momen penting untuk ia abadikan dalam catatan hariannya. Mari kita intip beberapa tulisan Icih tentang kesehariannya.

April 2010
Duh, senengnya memasuki komunitas baru! Pengalaman baru, ilmu baru, teman baru, meski ya… seneng di sini tetep belum kugenggam sepenuhnya sih, masih perlu perjuangan! Harus bisa kenal lebih deket lagi sama orang-orang di komunitas ini, biar betah. Apalagi ini kan komunitas yang aku impi-impikan sejak dulu. Dan sekarang… setelah melewati beberapa proses penyaringan (emang minyak!) akhirnya aku keterima juga jadi bagian dari kelompok mereka. Kelompok orang-orang yang punya hobi sama denganku.
Ternyata komunitas ini banyak juga ya peminatnya! Secara, udah terkenal banget kayaknya. Yang membuatku agak heran, koq kayaknya orang-orang di sini pada pendiem semua ya? Kesannya mereka itu diam-diam menghanyutkan! Terus terang buat aku ini menuntut banget buat bisa beradaptasi. Aku yang biasanya riweuh dihadapkan pada kondisi yang mengharuskanku rada menjaga sikap biar gak kelihatan mencolok karena rame sendiri. 
Eh eh eh, tunggu bentar, ternyata ada deng yang agak mencolok, dan ternyata bener kan… seorang temen perempuan yang mencolok ini mendapat tatapan yang berbeda dari temen-temen lainnya, entah itu tatapan positif atau negatif, yang jelas, tatapan negatifnyalah yang membuatku berpikir ulang untuk bersikap ekspresif di awal pertemuan seperti dia. 

Dan waw, ternyata bukan si teman yang ini saja yang menurutku sikapnya agak mencolok. Ada seorang lagi, dan itu seorang pria! Dari caranya memperkenalkan diri, entah kenapa aku merasa dapat menangkap gelagat narsis dan agak sombong pada si pria. Masih terbayang bagaimana pria yang katanya bernama Boy itu memperkenalkan diri seraya menyebutkan aktivitasnya yang katanya padat. Huh, sombong! Pikirku saat itu. Aku yakin koq di sini bukan cuma dia yang punya kegiatan bejibun. Aku juga! Kuliah, berorganisasi, ngajar, ngelola training center, berwirausaha, nyuci, nyetrika, beres-beres, hehe.. jadi sebenarnya aku juga sombong ya? Ups, piss ah!
Sebenernya yang ngebuat aku agak ilfil ngeliat si Boy ini adalah ketika aku melontarkan sebuah pertanyaan padanya.
“Hmm… mister, pernah berguru di negeri sebrang nggak? Kayaknya saya pernah liat mister, saya berguru di sana juga soalnya” kata saya jujur sambil nginget-nginget peristiwa masa lalu di negeri sebrang.
“Iya, saya pernah di sana. Oh kamu dari sana juga ya? Tapi saya nggak kenal!”
Gubrak!!!
Dia berlaga seolah dia adalah manusia super yang dikenal bayak orang, sedangkan aku hanya Cinderella cantik (hehe, kebagusan) yang sama sekali tidak dikenalnya. Huh! Sejak saat itu resmilah dia kuanugerahi predikat “sombong” di keningnya (lho?)
$$$
Itulah momen pertama yang mempertemukan Boy dan Icih, sodara-sodara. Kesan pertama yang buruk mengenai Boy melekat dalam pikiran Icih. Hanya sekejap saja. Karena untuk kemudian Icih sudah lupa lagi mengenai peistiwa itu, apalagi ketika memang sudah cukup lama dia tidak penah bertemu lagi dengan Boy.
Tapi sejarah membuktikan bahwa di masa depan mereka akan bertemu lagi. Dengan cara yang mungkin tidak pernah disangka oleh keduanya.

0 comments:

Gaul sama Ibu-ibu

9:30 PM Unknown 0 Comments

Di sini saya ingin mengakui bahwa saya adalah orang yang nggak gaul. Nggak gaul –yang menurut saya- dalam arti yang sebenarnya. Bayangkan saja, nama tetangga sebelah rumah saja saya tidak tahu. Meskipun sebagian besar dari mereka umumnya mengenali saya (huh, narsis). Tapi begitulah, masa kecil saya dihabiskan dalam sangkar emas. Dikurung di dalam rumah dengan alasan pergaulan lingkungan sekitar kurang sehat untuk tumbuh kembang saya. Saya masih ingat bagaimana mamah melarang saya main karena bahasa teman-teman sebaya saya yang seringkali nyeletuk menyebut nama binatang. Sekolahpun, sengaja mamah menempatkan ke sekolah yang tempatnya jauh, yang beliau rasa kualitasnya lebih baik dibandingkan sekolah dasar dekat rumah. Jadilah saya anak asing di kampung sendiri dengan teman tara-rata anak kampung lain.

Maaf kalau saya jadi bernostalgia ria, pengalaman ini saya ungkapkan karena tiada lain semuanya menjadi sangat berkaitan dengan kehidupan saya selanjutnya.

Baiklah, itu sekilas mengenai lingkup pergaulan saya di rumah, dengan ruang yang begitu sempit. Karenanya, di usia saya yang sudah berkepala dua ini, saya semakin menyadari pentingnya bersosialisasi. Terlebih selama tinggal di asrama pesantren, maupun di kostan setelah memasuki bangku kuliah, saya sangat senang berteman dengan banyak orang. Memasuki berbagai komunitas untuk memperluas pergaulan. Namun ada yang saya lupakan: kampung saya. Ya, sebelum hari ini, saya tidak mengenal lebih dekat seorangpun tetangga saya.

Untuk memperbaiki kesalahan itu, ramadhan ini saya bermaksud untuk mengeksiskan diri di lingkungan sendiri. Mumpung libur panjang.

Hari pertama ramadhan saya memberanikan diri ikut tadarus Quran ibu-ibu di mesjid besar kampung. Saya menyadari betapa beberapa ibu memerhatikan saya sambil mungkin bertanya-tanya dalam hati. “Siapa ya?” “Anaknya siapa?” “Koq cantik amat ya?” hehe… becanda ah!

Hal itu saya ketahui karena benar saja, setelah acara pengajian usai, dan saya menyalami beliau-beliau satu-satu, banyak sekali pertanyaan yang mereka lontarkan. Mulai dari nama, sekolah di mana, semester berapa, belajar ngaji di mana, sekarang tinggal di mana, SEDANG LIBUR berapa lama, dan…. Sudah punya calon apa belum? Hihi…. Antusias sekali para ibu itu. Maklum, ada anak gadis nyasar ke pengajian ibu-ibu yang rata-rata sudah beranak cucu.

Namun ada satu pertanyaan yang membuat saya sangat terkesan dan merasa senang. Kurang lebih bunyi pertanyaannya seperti ini
“Nenk, kersa teu mantosan ibu ngajar PAUD?” katanya dengan berbahasa sunda yang baik dan benar dan sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.

Selidik punya selidik, setelah bertanya pada mamah, ternyata ibu tersebut di kampung ini adalah pendatang. Bu Nur saya menyebutnya.

Bu Nur tinggal di  kampung ini semenjak menikah dengan salah satu pemuda kampung ini yang tiada lain adalah tetangga saya. Yang membuat saya terkagum, meskipun beliau bukan asli orang sini, beliau mampu menghidupkan mesjid dengan berbagai aktivitas keagamaan yang beliau rintis sendiri, mulai dari pengajian ibu-ibu, tahsin Quran, tadarus Quran, juga madrasah diniyah hingga PAUD untuk anak-anak.

Saya belum begitu tahu proses yang beliau lalui dalam sepak terjangnya selama ini. hanya saja dari kabar yang saya dengar lagi-lagi dari mamah, beliau, dengan segala program barunya dapat diterima masyarakat karena sifatnya yang baik budi, ramah, dan pandai membawa diri.

Sekilas saja tentang Bu Nur. Dari cerita tentang beliau yang inspiratif ini, saya teringat akan mimpi saya untuk berkontribusi lebih dalam dunia pendidikan. Bukan hanya sebatas menjadi mahasiswa yang berarti terlibat dalam proses transferensi pendidikan, tapi juga saya berharap untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menjadi guru yang ideal, serta saya sangat berharap agar dapat mendirikan sebuah lembaga pendidikan islami yang berkualitas dan gratis.
Untuk menggapai mimpi tersebut, ibaratnya tentu tidak bisa langsung meraih puncak tertinggi tanpa mendaki bukit-bukit kecil yang tersusun dibawahnya. Karenanya, bukit pertama yang harus saya taklukan adalah dengan menjadi guru.

Dengan turun langsung ke lapangan untuk mengajar, saya bisa mendapatkan pemahaman dan tentu pengalaman yang belum saya dapatkan dibangku kuliah. Maklum belum KKN.

Kendalanya selama ini adalah, cukup sulit bagi saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di sekolah, karena program studi yang saya ambil di kampus bukanlah program studi mata pelajaran, melainkan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang tidak diajarkan di bangku sekolah.

Sempat mendapatkan tawaran untuk mengajar TK, namun yang menjadi kendala adalah waktu. Jadwal sekolah anak TK tentu pagi-pagi, sedangkan jadwal kuliah sayapun sama: selalu pagi.

Sempat juga mengajar bahasa arab di salah satu tempat kursus di Cimahi. Namun karena peminatnya tak sebanyak bahasa inggris hingga akhirnya siswa yang tersisa hanya 2 orang, lembaga kursus memutuskan untuk menutup kelas bahasa arab.

begitulah, sejak saat itu saya selalu berharap untuk dapat mengajar apapun di manapun sesuai kompetensi yang saya miliki, akan tetapi semuanya urung ketika berkaitan dengan kesepakatan jadwal mengajar.

Sampai hari ini, ketika saya mencari kegiatan kesana-kemari untuk mengisi liburan panjang selama ramadhan, tawaran itu datang. Saya memiliki peluang besar untuk mengaplikasikan pengetahuan saya dengan mengajar PAUD!
Ditambah lagi saya suka anak-anak. (mungkin karena saya ‘katanya’ kekanak-kanakan, hehe)

Dalam jangka waktu sepersekian detik, dengan tanpa berpikir panjang, sambil melontarkan senyum termanis yang saya miliki, pun sambil bersyukur dalam hati, mantap saya menjawab,
“Mangga Bu, insya Allah tiasa. Kaleresan nuju milari kegiatan salami liburan.”

Sepulang pengajian hari pertama ramadhan itu, dalam perjalanan menuju rumah, saya sibuk menerka, hikmah dibalik apakah ini?

Mungkin hikmah silaturahmi. Mungkin juga hikmah memakmurkan mesjid, atau hikmah dari…. ah! Tak perlu menghitung nikmat Allah atau menebak alasan Allah memberi kita kebahagiaan. Allah maha segalanya dan itu cukup menjadi alasan.
Sungguh, buih di lautanpun takkan mampu menganalogikan segala nikmat yang begitu mudah Ia beri secara cuma-cuma. Gratis!

Sedangkan hikmah tersendiri bagi saya pribadi adalah untuk tidak ragu mencoba hal-hal baru, selama itu baik. Karena keberanian untuk mengantongi rasa malu untuk eksis di lingkungan rumah itulah, akhirnya saat ini saya berani mengatakan bahwa saya bukan orang yang nggak gaul lagi. Kenalan saya di sekitar rumah sekarang banyak: ibu-ibu semua!




Awal ramadhan,
Ngetik sambil ngabuburit
Diiringi ‘For The Rest of My Life’nya Maher Zein.

0 comments:

Diorama Sepasang Pemimpi(n)

2:38 AM Unknown 0 Comments


Karena saya dari universitas pendidikan dan kita sama-sama peduli terhadap pendidikan, maka kita akan mendirikan sebuah lembaga pendidikan.
Karena anda dari universitas islam dan kita sama-sama sangat mencintai Islam maka segala hal termasuk lembaga pendidikan yang kita rintis, berbasis Islam
Karena anda dari jurusan komunikasi dan saya sangat menggemari ilmu komunikasi, maka kita akan merintis sebuah radio
Karena saya dari jurusan psikologi dan anda menghendaki saya untuk tetap di rumah, maka saya akan membuka praktek konseling di rumah
Karena saya dan anda sama-sama gemar membaca maka kita akan membangun sebuah perpustakaan dan mengajak seluruh dunia untuk membaca
Karena saya dan anda sama-sama gemar menulis maka kita akan tetap menulis. Tentang islam, tentang pendidikan, tentang psikologi, tentang komunikasi dan tentang keluarga islami
Karena itulah kita. Sepasang insan yang berusaha untuk membangun gedung kokoh bernama keluarga islami. semoga tak sekedar bermimpi.

Juni 2011
Mudah-mudahan tidak lebayatun jiddan!

0 comments:

Rainy Earth and Rainy Heart

3:20 AM Unknown 0 Comments

Teruntuk sejuknya hujan…

Yang iringiku menyongsong hangatnya mentari pagi
Yang memompa semangatku di bawah terik surya siang hari
Dan lengkapi damainya senja saat ia tenggelam terkubur bumi
Terimakasih dari hati

Hanya bisa menyungging senyum sederhana
Senyum yang lebih bermakna
Dari setiap untaian kata
Maka…
Urung kukirimkan bahasa
Cukup senyum saja
Pertanda kupun bahagia.

Kelak, kala jarak menghantarkan kerinduan
Mimpi itu takkan lepas dari genggaman
Ku ikhlaskan jasadmu tuk gapai angan
Karena meski sendirian
Menanti setiap perputaran zaman
Kupastikan asma-Nya sebagai pegangan
Hingga kau kembali berbekal peran
Tuk kudampingi bangun peradaban.

Rabbi zidnaa ilman
Warzuqnaa fahman




Rainy earth and rainy heart
19 Juni 2011

0 comments:

Session 1

3:39 AM Unknown 0 Comments

Hujan tak juga reda. Aku benci suasana seperti ini! Ini semakin membuatku melankolis saja. Dan kelihatan bodoh! Perasaan ini membuatku seakan tak berdaya, emosi memang subjektif, rasio bisa kalah olehnya. Ya, oleh cinta.
Aku tak pernah mengundangnya tuk hadir di hatiku. Jelas-jelas aku tahu betul bagaimana seharusnya perasaan ini di manage bila belum saatnya ia tiba. Aku orang berilmu, aku orang beragama. Selain hafal akupun faham betul ayat yang melarang mendekati zina. Pertanyaanku, apakah jatuh cinta itu mendekati zina?
“Cinta itu fitrah manusia, Shara.”
Ustadzah Sari saja berkata begitu. Orang yang pemahaman keagamaannya jauh di atas aku menganggap bahwa jatuh cinta itu adalah hal yang wajar. Silakan berkata “Cinta itu fitrah tapi kita jangan menodai kefitrahannya dengan dengan perbuatan atau hubungan yang sama ekali tidak pernah dicontohkan dalam Islam. Pacaran.”
Tidak perlu menesehatiku atau menguatkan pendapatmu dengan dalil-dalil Al-Quran atau Hadits yang melarang kita, umat Islam untuk berpacaran, karena dalil-dalil itu adalah makananku sejak kecil. Tempat ini telah membentukku sebagai anak ABG, hingga kini sebagai remaja yang hidup berasaskan Quran dan Sunnah. Camkan ucapanku, bukankah mengaplikasikan suatu teori itu jauh lebih sulit dari sekedar mengetahuinya? Tolonglah aku, ini pertamakalinya bagiku, aku jatuh cinta… aku jatuh cinta. Apa yang harus kulakukan?
“Perbaiki shalat malammu, Shara”
Aku turuti nasihat Via, sahabatku. Sebelum tidur aku memasang alarm di angka 02:00. Pukul 22:00 aku memejamkan mata, hingga pulul 24:00 aku masih terjaga. Aku gusar. Hatiku risau. Setiap benda apapun yang kulihat nampak seperti sesosok wajah yang begitu aku kenal, membuatku tersenyum sendiri kala menatapnya. Kemudian aku berharap sosok itu benar-benar nyata hadir untuk mengobati rindu. Penyakit yang baru-baru ini kuketahui bahwa rasanya benar-benar menghujam jantung. Sakit!
@@@
“Ana mencintai antum karena Allah, Akhi…”
Tuturku terbata-bata. Malu, tapi aku tidak mampu menahan lagi untuk tidak mengatakannya. Yang kupanggil dengan sebutan akhi itu tertunduk. Wajahnya mengkerut. Mungkin bingung, atau mungkin juga dia sedang berharap bahwa ini hanyalah mimpi.
Mungkin ini yang dinamakan orang dengan salah tingkah. Karena sekarang akupun jadi tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Diam-diam aku jadi menyesal, andai saja ucapanku barusan bisa ditarik kembali !  ikhwan dihadapanku inipun hanya diam. Duh, kenapa diam saja? Katakanlah sesuatu, ya atau tidak. Dijawab dengan potongan lagu ‘Nantikanku dibatas waktu’nya Edcoustic-pun tak apa. Tapi jangan diamkan aku! Rasa-rasanya aku tidak pernah semalu ini. Apa sebaiknya aku pergi saja daripada tak kuat menahan malu. Atau, aku ralat saja ucapanku tadi. Ya, benar. Aku ralat saja. Sekarang aku hanya tinggal katakan bahwa tadi aku sedang bercanda. Ya, ini aprilmop. Meskipun ini bukan tanggal satu tapi hari ini aku ingin memberlakukannya… huh, konyol memang.
“…jadi jangan diambil hati ya, maaf sudah membuat bingung.”
Ah, lega rasanya bisa mengatakan itu. Walaupun itu artinya aku harus memendam cinta ini lebih lama lagi. Tapi koq, dia masih kelihatan bingung?
“Lho, kenapa masih bingung? Ana kan sudah bilang kalau ana hanya bercanda.”
“Gimana aku nggak bingung, nggak biasanya kamu susah dibagunin kayak gini. Ayolah Shara, kita semua sudah shalat shubuh.. kamu masbuq tauk!”
“Bangun, masbuq? Maksud antum apa sih, Fathah?”
“Hah, hah… fat? Owh… Fathah? Hahaha…”
“Aduh, kepalaku pusing” keluhku. Sekelilingku tampak gelap.
“Ya gimana nggak pusing, orang bangun tahajjud kamu tidur. Orang shalat shubuh kamu masih tidur juga. Jadi gara-gara mimpiin Fathah tho?”
Ledekan lainnya menyusul. Ramai sekali. Bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak. Picingan mataku melebar. Semuanya sudah terlihat jelas. Ada Ayuni, teman sekelasku. Di belakang Ayuni aku menangkap wajah Salma, Hilda dan Senja. Mereka adik kelas-adik kelas yang sudah delapan bulan sekamar denganku.
“Deu… Teh Shara, jadi teteh naksir Kang Fathah ya?”
Aku ingat sekarang, jadi tadi itu hanya mimpi. Dan aku mengingau, aku menyebut-nyebut nama Fathah. Apa yang sudah kulakukan? Sebagai santri tertua seharusnya aku menjadi uswah bagi adik-adik kelasku. Bukannya malah mengekspos perasaan yang tidak halal ini! Astaghfirullah...

0 comments:

KM Terdahsyat Tahun Ini

3:31 AM Unknown 0 Comments


Eh belum pamit deng sodara-sodara. Masih ada dua orang lagi neeh… jangan beranjak dulu okeh? Ini gilirannya nyeritain Pak KM yang ngakunya KM terdahsyat tahun ini. Abis dia nanya terus sih.
“via aku kapan?”
“via aku koq nggak ada terus sih, pokoknya buat besok harus ada akunya ya”
“via koq aku Cuma disorot di intronya doank sih”
Yeee… kan emang sengaja. Di episode yang kemaren kan kamu jadi piguran. Hehe. Tapi sip lah… sekarang pak KM dengan nama lengkap Candra Ari Ramdhanu ini jadi salah satu artisnya.
Mmh… mulai dari mana ya?
Dari statement “Candra bertanggung jawab” aja deh. Aku yakin nggak akan ada yang protes kalau aku berpendapat seperti itu. Dia tahu betul perannya dalam organisasi kecil namun kompleks dalam segala hal seperti kelas B. Padahal sebelum dia mengemban amanah sebagai ketua kelas, aku tak pernah menyangka kalau dia akan menjadi KM selanjutnya yang menggantikan Bayu. Pasalnya tidak ada tanda-tanda dia “gemar” menjadi pemimpin, dia orangnya tidak suka mendominasi, tidak suka mengomando, cenderung tertutup, tidak memprovokasi seperti KM sebelumnya (hehe, ampun Bayu!), ya pokoknya… gitu deh. Sepertinya Candra cinta damai dan lebih suka mengalah dari pada memicu konflik yang lebih gawat. Candra juga terlihat datar-datar saja, tidak neko-neko, stabil, dan satu lagi… nggak pernah marah. Ya, dia tidak bisa marah. Tapi orang seperti itu biasanya kalau emosinya sudah meledak akan membuat orang terbirit-birit ketakutan kayak lihat monster ngamuk.
Sebagai calon konselor (amin…), aku tahu candra perlu banyak belajar dan beradaptasi dengan peran baru-nya, yang menuntut dia berubah menjadi seseorang yang punya andil besar dalam team. Candra pernah dikritik pedas oleh temanku, si mahasiswa terkritis seantero PPB, kalau candra itu kurang berkarisma, kurang tegas, dan kurang-kurang lainnya. Reaksi si KM asal Cirebon ini hanya mendengarkan dan mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu dia bilang.
“ya, terimakasih atas masukannya”
Padahal aku tahu bagaimana rasanya dikritik seperti itu di hadapan banyak orang, sedangkan posisi dia adalah sebagai “pejabat tertinggi”.
Dan keesokan harinya, aku melihat candra lebih dapat mengendalikan anak-anak seisi kelas dangan beragam karakter dan bermacam keinginan. Dia juga jadi lebih tegas,  lebih karismatik juga? Mmh… yang ini mah nanti duluuu… harus mikir seribu kali untuk bilang “iya”. Hahaha. Intinya, selama ini candra sudah banyak belajar dan berkembang ke arah yang lebih baik. Bukankan ilmu itu didapat dari balajar? Seperti dinyatakan dalam sebuah hadits shohih, “innama al-ilmu bi ta’allumi”.
Sebagai teman juga candra itu baik hati dan tidak sombong, rajin menabung tapi tidak rajin membaca. Dari sini aku jadi menyimpulkan dan punya pandangan stereotip bahwa orang jawa itu baik-baik. Contoh lainnya adalah alfian yang orang Cirebon dan Caesar yang orang cilacap. Hmmm… aku mau sama orang jawa aja ah. Maksudnya mau cari teman orang jawa yang lebih banyak lagi, gitu.

0 comments:

(Bukan) Arumi Buchin

1:45 AM Unknown 0 Comments


Satu lagi saja nama teman yang akan aku ceritakan pada sesi ini. Dia sih ngakunya bernama Arumi. Bukan Arumi Buchin (bener gak sih nulisnya?) tapi singkatan dari Anggi Rumayanti. 
Setahuku, tidak ada karakter Anggi yang sangat menonjol seperti lebay, centil, cerewet, emosional, suaranya gordes, seneng bicara, suka tampil, suka nyanyi-nyanyi di kelas... (kayaknya kenal, itu sifat-sifat siapa ya?)
Anggi terlihat datar-datar saja. Mungkin itu yang dinamakan stabil. Setiap orang pernah merasa kecewa atau marah, bukan? Tapi aku tidak pernah melihat Anggi menampakkannya di muka umum, atau minimalnya di kelas. Dan perangai itulah yang membuat Anggi punya banyak teman.
Anggi punya idola, sodara-sodara!
Gadis berkacamata ini suka banget sama yang namanya Dikta Yovi&Nuno.  Selayaknya seorang fans, Anggi mengoleksi photo-photo Dikta di handphone dan laptopnya, bahkan mungkin juga di dompetnya (bener gak, Nggi?) dan saking sukanya, neneng asal Sukabumi ini mengedit photo sehingga hasilnya adalah photo Dikta sedang merangkul Anggi di atas panggung. Udah gitu dia pamerin deh tu photo di pesbuk. Oh Anggi... malangnya nasibmu, nak! Semoga kamu bener-bener bisa ketemu Dikta ya!
Parahnya lagi, Anggi namain laptopnya dengan nama Dikta. Sama kayak aku yang namain komputerku Kokom Komariah.
Entah apalagi jenis barang yang Anggi namain Dikta. Mungkin buku, mungkin cermin, lemari, TV, bantal, sikat gigi... 
Ah, aku harap Anggi hanya sebatas menamainya dan tidak mengajak banda-benda itu ngobrol dan membayangkan ngobrol dengan Dikta. Amin ya Allah...

0 comments:

Anna Althafunnisa Wanna Be

1:43 AM Unknown 0 Comments


Jaman sekarang ini, mencari orang baik dan sholeh sudah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami (terlalu berlebihan ya?). makanya, kehadiran film KCB dengan tokoh Anna Althafunnisa seperti menjadi jawaban akan kebobrokan moral sebagian remaja dan remaji Indonesia. Semua orang mengidolakan sosok Anna. Hanya saja, bagaimanapun, Anna hanyalah seorang tokoh fiktif. Dia tidak ada di dunia nyata. Eits, siapa bilang? Dia ada koq di UPI jurusan PPB angkatan 2009 kelas B!
Dialah Pitri Nurseptari Agustin. Anna Althafunnisa wanna be. Dimulai dari gaya berpakaian, tutur kata, sampai bentuk muka, Anna banget!
Kalimat pertama yang biasanya terlontar ketika melihat Pitri adalah,
”Subhanallah...”
Dalam ajang PPB Angkatan 2009 Award, Pitri mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa PPB’09 tervaforit. Terang saja, siapa sih yang nggak akan suka sama teman yang baik, anggun, lembut, dan sholeheh? Analoginya, jangankan orang baik-baik kayak kita (kita, gw aja kalee..) orang jahat saja pasti lebih memilih teman, Sahabat, atau pasangan hidup yang sholeh/sholehah. (lho, koq nyambungnya ke pasangan hidup ya?)
Selain itu, Pitri juga cerdas.
Dibawah ini adalah skenario yang biasa terulang ketika Pitri hendak mengemukakan suatu pertanyaan atau pendapatnya di kelas.
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, terimakasih atas kesempatannya. Nama saya Pitri pake ‘P’….. “
Sunda asli!
Kalo udah gitu aku juga maunya ikutan,
“Nama saya Silvia pake ‘S’ “
(ya iya lah!)
Ok, kita kembali ke Pitri. Sampai mana tadi? Oh iya, Pitri yang cerdas. Aku rasa, Pitri mempunyai kemampuan berbicara yang cukup baik. Yang saya suka dari cara Pitri mengemukakan pendapatnya adalah dia selalu menyisipkan suatu contoh sehingga orang akan lebih mudah memahaminya (Pit, nggak nyangka kan… Via perhatian gini. Hahaha).
Yang aku tahu, Pitri juga penyuka anak-anak (eits, maksudnya bukan pedophile lho!) . Makanya, aku doakan supaya kelak Pitri punya anak 5. Laki-lakinya aja. Perempuannya juga 5. Jadi 10. (Bilang amin jangan nih?)
Baiklah kawan, demikian sekilas tentang Anna Althafunnisa wanna be. It’s the good character kan? Memang tidak ada manusia yang sempurna. Tapi setidaknya mari kita bersama-sama belajar untuk lebih mengoptimalkan kelebihan-kelebihan kita dan meminimalisir kekurangannya, salah satunya dengan memunculkan inner beauty seperti Pitri. Hayu urang turutan, barudak…..!
But, just be your self. Inga-inga, ting! ^_*

0 comments:

Putuskan Saja Pacarmu

1:42 AM Unknown 0 Comments


Kecil-kecil berkacamata. Namanya Puspa. Putuskan saja pacarmu. Nggak deng, Puspa Indhana. Anak terlebay sejagat PPB kelas B. Mau bukti? Mari kita sambut kedatangan Puspa yang biasanya sering terlambat. Kita perhatikan penampilannya dari ujung kerudung sampai ujung sepatu. Lalu kita bilang,
“ih… mpush lucu banget pake baju itu…” 
Dijamin dia langsung bergaya-gaya bak fotomodel mau dijepret. Kalo nggak, dia bakal bilang,
“ih… masa seeh… makasssiih…” sambil megang-megang pipi dan cungar-cengir kayak fitri Tropika.
Tapi biar bagaimanapun, mpush jauh lebih cantik koq dari Fitrop (kata kang Dodi mah).
Maaf ya Mpush… yang aku eksplor kejelekan-kejelekan, ups, maksudnya keanehan-keanehannya dulu. Biarpun aneh (bahasa kerennya unik), Puspa punya banyak kelebihan yang gak bisa dipungkiri. Puspa itu mahasiswa yang tekun, biarpun sering datang telat (karena rumahnya jauh) Puspa selalu berusaha untuk duduk di bangku paling depan. Puspa selalu mengajukan pertanyaan yang berbobot saat sesi diskusi di kelas. Tak jarang juga Puspa yang menjawab pertanyaan-pertanyaan teman-teman yang lain. Pokoknya aktif dalam perkuliahan deh!
Selain itu, Mpus itu teman yang baik (uhuk uhuk!). dengan kepribadiannya yang menarik dan ideal, aku yakin kelak mpush bisa jadi konselor professional. Amiin…
Satu kata lagi yang terbersit ketika disebut nama puspa adalah: pelupa. Ya, ya, ya… hal yang wajar untuk seorang sanguinis. Jadi kalau disimpulkan, puspa itu pelupa, ceria, ekspresif, baik, pinter, dan yang paling khas adalah L-E-B-A-Y. baca: lebay. Hehe.. pliss jangan dendam padaku, mpush! ^o^

0 comments:

Kenapa Begini, Agna?!

1:39 AM Unknown 0 Comments


Kamar ini nampaknya sudah tak berbentuk, seperti kapal pecah! Seolah tanpa salah piring-piring kotor bertumpuk di sudut ruangan, minyaknya bau amis, masih ada sisa tulang ikan yang entah bekas makan kapan, gelas gelaspun tak kalah banyak menambah kesan jorok penghuninya, bungkus mie instan, kulit kacang, plastik kerupuk, duh! Semuanya lengkap terkumpul di sudut kanan sehingga bisa langsung tertangkap oleh pandangan siapapun yang baru datang.
Di sudut kirinya kasur busa tanpa alas tergeletak begitu saja tak beraturan. Posisinya miring tanpa sengaja, tanpa seprai. Mencerminkan ketidakpedulian pemiliknya.  Selimut jangan ditanya, karena sudah pasti tak sempat dilipat, bantal dan guling saja tak berada pada tempat seharusnya, berantakan. Benar-benar berantakan!
Oh, tak cukup di situ saja, banyak pakaian yang tertumpuk di tengah ruangan, entah itu pakaian kotor atau pakaian yang baru diangkat dari jemuran tapi belum dilipat dan disetrika. Ditambah buku-buku berserakan hampir di setiap penjuru ruangan.
Sekarang mataku tertuju pada lantai yang sedari tadi kuinjak, kalau saja tak memakai sandal, pasti sudah terasa seberapa kotornya. Entah sudah berapa minggu keramik putih ini tak tersentuh sapu dan kain lap pel. Begitupun dengan kaca jendela, amat buram. Bahkan kaca cerminpun yang seharusnya lebih diperhatikan karena itu amat menyangkut keperluannya sebagai seorang perempuan yang senang berdadan, sama sekali tak layak pakai. Atau lebih tepatnya baru bisa dipakai setelah dibersihkan dengan sabun, air, lap basah, lap kering, air panas, sabun lagi, lap lagi, lalu lem di tengah-tengahnya yang sudah pecah. Jika dihitung-hitung lebih mahal plus super ribet membersihkan daripada membeli cermin yang baru.
Sekarang coba kita lirik ke bagian langit-langit, lampu neon yang entah berapa watt itu dikelilingi sarang laba-laba!
Ya Tuhan… ini kamar gadis atau rumah hantu?!
“Kakak!”
Suara cempreng dari arah belakang mengalihkan perhatianku. Si pemilik suara mempercepat langkahnya lalu memelukku dengan sumringah.
“Mau ke sini koq gak bilang-bilang dulu, kan aku bisa jemput.” Ucapnya sambil cipika-cipiki pipiku kanan dan kiri.
“Hm, kamu bau asem!”
“Iya gitu?” Gadis delapan belas tahun itu menciumi aroma ketiaknya.
“Hehe iya, aku belum mandi.”
“Ya ampun Agna, kamu kuliah nggak mandi dulu? Pake baju kayak gini pula. Model apaan ini?”
Aku memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambutnya di kuncir kuda dengan poni tak beraturan, telinga tanpa anting, di lehernya tergantung kalung dengan tali berwarna hitam dan liontin menyerupai koin ukuran seratus rupiah warna putih, kaos oblong warna hitam, blue jeans belel yang lututnya sudah robek (atau sengaja dirobek?) dan sepatu kets tanpa kaos kaki. Ya ampun, bahkan di kantong celananya ada rantai yang tersambung ke sabuk. Dan itu…
“Apa itu?’ aku menunjuk kain di lengannya.
“Ini namanya deker, Kakak. Gak gaul banget sih!”
Aku tahu itu deker. Gelang kain dengan bahan yang cukup tebal dan dipasang di pergelangan tangan, simbol yang menunjukkan citra pemakainya sebagai anak gaul. Ya, aku tahu semua benda itu, benda yang biasa dipakai oleh anak-anak berandalan depan gang rumah kami di Sukabumi. Dan aku tidak menyangka saat ini benda-benda itu digunakan oleh Agna, adik bungsuku yang baru kuliah semester satu, anak kesayangan keluarga, siswa teladan sejak SMA namun super manja, yang hobi shopping, hobi nonton, hobi dandan… tapi kini mendadak brutal! Terbukti dengan melihat ketidak teraturan kamar dan caranya berpenampilan. Ada apa ini, Agna?
###
“Kak, saya lihat Neng Agna di Bandung kemarin.” Kata Kang Nurdin, pemuda karang taruna di desa kami.
“Oh iya… si Agna kan kuliah di UPI sekarang, Kang.”
“Saya juga tahu, Kak. Ini mah saya liat Neng Agna ngamen di damri.”
Keningku berkerut. Lalu ingat jaman kuliah dulu pernah juga ngamen bareng rombongan, buat menutupi anggaran pentas yang belum tertutupi dengan tiket peserta. Aku dulu anak teater kampus. Aku tersenyum. Lalu menceritakan pengalamanku masa kuliah itu pada Kang Nurdin.
“Saya liat Neng Agna sendirian koq, Kak. bajunya juga beda dari biasanya. Kirain teh bukan Neng Agna, pangling banget!”
Tak lantas percaya begitu saja, tapi jadi kepikiran juga. apa benar Agna ngamen? Untuk apa? Apa uang jajan yang kami beri selama ini kurang? Rasanya tidak mungkin. Penghasilan keluarga kami sebagai pemilik pabrik batako selalu cukup untuk menguliahkan anak-anak Bapak. Dulu, aku dan A Imran yag kuliah, soal keuangan tidak terlalu jadi masalah. Apalagi sekarang, tinggal Agna yang kuliah, tambah lagi aku dan A Imran yang sama-sama sudah bekerja dan belum berkeluarga bisa turut membantu jika ada masalah. Ah, besok aku harus ke Bandung!
###
“Iya Kak, anak yang ngemen itu terus aja nimbrungin kita yang lagi ngobrol, pemikirannya dewasa, pas kita ngomongin uang SPP yang terus-terusan naik, dia juga nyeritain gara-gara gak bisa beli seragam dia putus sekolah. Sampai akhirnya dia memutuskan, biarlah dia nggak sekolah, tapi bisa berguna buat keluarga, bisa ikut nyari uang.”
“Hmmm…” Aku menanggapi cerita Agna dengan komentar minimal.
“Berarti itu pertama kalinya kamu naik kereta ya Na? kereta ekonomi, lagi.”
“Yo’i. pertama dan sangat mengesankan. Ya salah satunya tentang anak yang ngamen itu.”
“Dan alasan itulah yang buat kamu ikut-ikutan ngamen. Iya?”
“Lho, Kakak udah tau kalo aku ngamen?” tampaknya dia cukup kaget. Setelah itu kembali menunjukkan ekspresi wajah tanpa dosa.
“Kamu beneran ngamen?”
“Iya aku ngamen, hebat kan ka? aku nggak gengsi lho… “
Hebat?
“Kenapa harus ngamen sih Na? kamu disekolahin jauh-jauh ke Bandung itu biar belajar yang bener, persiapkan ilmu sebanyak-banyaknya buat bekal masa depan.”
Keningnya berkerut, matanya meminta penjelasan.
“Aku pikir Kakak bakalan bangga, aku nggak jadi anak manja lagi.”
“Kamu pikir Kakak bangga, kamu jadi lebih mirip berandalan dari pada calon guru. Kamu itu mahasiswa UPI na! Kakak yakin sekarang kuliah kamu terbengkalai, berteman sama preman-preman, sampai-sampai nggak sempet belajar, ngurus diri, beresin kamar. Kenapa begini sih, Na? kalau Ibu tahu…”
“Kakak jangan ngasih tahu dulu Ibu, nanti aku yang akan bilang, aku yakin Ibu pasti ngerti. Lagian aku nggak sepenuhnya kayak yang Kakak bilang, aku cuman nggak sempet beres-beres karena pulang kuliah kan mesti langsung ke jalan. Aku suka belajar koq, beneran. Terus ini…” Agna menunjuk pakaian yang dikenakannya.
“Masa iya ngamen pake kemeja, emang ngelamar kerja” dia merengut, tidak dapat menyembunyikan watak manjanya.
Selain karena rayuan Agna, aku juga memang tidak mau Ibu syok dengan berita ini. Aku memutuskan menyimpan kabar ini sendiri saja, sambil membujuk Agna untuk menghentikan aktivitas konyolnya.
###
 “Put, aneh geura. Masa si Agna ngirim surat. Segitu udah jaman internet, email atuh ya… nelpon biasanya juga”
Agna nulis surat?
“Mana A? Sini Putri dulu aja yang baca” aku mengambil amplop di tangan A Imran.
“Apa itu mah bukan… tuh surat mah di Ibu”
Aku panik. Jangan-jangan Agna cerita kalo di Bandung dia ngamen. Duh!
“Ibu, surat dari Agna mana? Putri aja ya yang bacain.”
Ibu menyerahkan selembar kertas bertuliskan bolpoin warna hitam. Tulisan tangan Agna.
Aku bersyukur, dengan membacakan surat itu, aku bisa memanipulasi isinya. Setidaknya aku tidak perlu membacakan bagian pengakuan Agna tentang aktivitasnya selain kuliah, yang pasti membuat kami sekeluarga, terutama Ibu, mendadak pingsan.
Berdebar aku membaca pendahuluannya,
Bismillah…
Assalamualaikum Ibu, Bapak, A Imran, Kak Putri…
Maaf sebelumnya jika….
Aku berhenti membacakan surat itu. Aku sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan Agna. Ibu, Bapak dan A Imran menungguku melanjutkan membacanya. Tapi tidak, aku lebih memili untuk membacanya sendiri dulu di dalam hati…
“Cepet atuh Put ah, sini aa aja yang baca”
“Iya Put, kenapa kamu teh? Cepet lanjutin!”
Aku melanjutkannya, dalam hati.
Ibu, Bapak, A Imran, Kak Putri, maaf sebelumnya jika surat ini membuat kalian bingung, sedih atau marah. Sungguh… Agna nggak nyangka akan begini akhirnya. Tinggal di kota membuat Agna tidak bisa menjaga diri. Agna tergoda untuk minum minuman keras, pacar Agna yang menawarkan. Agna tidak bisa menolak karena Agna sangat mencintainya. Maka dari itu ketika dia minta Agna untuk making love pun Agna tidak bisa menolaknya. Tapi setelah itu Agna begitu menyesal karena Agna tahu dia juga melakukannya dengan wanita lain. Agna tidak terima, jadi Agna memutuskan untuk balas dendam dengan melakukannya juga teman pria Agna yang lain. Dan sekarang… maaf Ibu, ayah, A Imran, Kak Putri, Agna tahu Agna tidak tahu diri, Agna sangat berharap kalian masih bisa menerima Agna di tengah-tengah kalian, Agna tidak tahu lagi harus ke mana, Agna hamil Ibu… Agna juga positif HIV AIDS….
Aku tidak bisa melanjutkannya lagi. Kepalaku begitu berat, berat sekali, seperti menahan beban berton-ton, menjadikanku begitu lemas, dan semuanya tampak gelap.
Tapi telingaku masih bisa mendengar dengan jelas, keluargaku tampak bertanya-tanya. Ibu menangis memanggil-manggil namaku, dan A Imran membacakan surat Agna dari awal.
………… Agna sangat berharap kalian masih bisa menerima Agna di tengah-tengah kalian, Agna tidak tahu lagi harus ke mana, Agna hamil Ibu… Agna juga positif HIV AIDS….
Ibu histeris, Bapak dan A Imran menenangkan.
Tapi…
“Ada tapinya, ada terusannya, Ibu, kita lanjutkan dulu. Dengar, Bapak dan Ibu harus dengar!”
Setelah itu A Imran membacakannya dengan lebih keras.
Tapi semua itu bohong koq, keluargaku tersayang… Agna di Bandung baik-baik saja. Agna tidak akan pernah mengecewakan kalian. IP Agna kemaren 3,67 lho! Itu angka terbesar di kelas Agna. Agna sekarang juga belajar mandiri, Agna ingin merasakan sulitnya Bapak mencari uang. Agna ngamen selepas kuliah… tapi itu nggak akan selamanya koq Kak Putri… jangan ngomelin Agna lagi ya! Sekarang Agna gabung sama lembaga pengajar privat, sambil nunggu ada siswa yang berminat, Agna mohon ke Ibu, Bapak, A Imran dan Kak Putri untuk mengijinkan Agna tetap ngamen. Cuman ngamen koq… itu kan bukan apa-apa dibanding Agna tetap jadi anak manja, kerjaannya shopping, pacaran, hamil, sampai aids… ya Ibu ya… plisssss!
“Alhamdulillah… “ Rasa syukur itu diucapkan serempak oleh Bapak, Ibu dan Aa dengan nada yang berbeda.
“Put… Putri… bangun Put, Agna nggak kenapa-napa!”

0 comments: