Pendidikan Spiritualnya Bayi
Mendidik itu beda dengan mengajar, apalagi dengan mengasuh...
***
Kemarin saat adzan maghrib berkumandang, Albina menangis
keras. Sejauh ini jika Albina menangis dalam keadaan sudah kenyang dan popoknya
tidak basah, berarti tangisan Albina merupakan laporan pada
umminya bahwa ia ingin dipangku. Dalam bahasa isyarat mungkin sebenarnya bayi mungil itu dengan manjanya berkata, “Ummi... gendong aku!”
Sebagai ibu yang baru memiliki satu anak saya yakin, dalam
keadaan seperti itu semua ibu pasti langsung menggendong bayinya. Ibu mana yang
tidak sayang buah hatinya?
Pun saya, dengan suka cita langsung menghampiri Albina,
“Uuuh sayang... sini sama Ummi.”
Namun muadzin dari speaker masjid depan rumah terus
mengumandangkan panggilan shalat, hayya ‘alasshalat..
hingga laa ilaaha illa Allah.. ;
tiada Tuhan selain Allah. Tidak ada yang patut disembah selain Allah. Tidak ada
yang patut diutamakan selain Allah. Tidak dengan pekerjaan, tidak dengan
kesibukan, tidak juga dengan anak. Lantas saya urungkan memangku Albina sambil
tersenyum dan berkata padanya,
“De, Ummi shalat dulu ya, Dede tunggu sebentar di sini. Nanti
kalo ummi udah selesai shalat kita main lagi.” Ucap saya dengan bahasa Sunda
(karena kami sekeluarga ingin Albina bisa nyunda
dengan baik, bahasa Indonesia akan ia kenal kemudian).
Albina terus menangis, ia masih ingin digendong. Saya gendong
sebentar, ia behenti nangis. Saya tidurkan lagi, ia kembali menangis. Fix.
Albina memang ingin digendong.
Nampaknya kalimat yang saya sampaikan (bahwa umminya harus
shalat maghrib dulu) belum bisa dia mengerti. Tapi bukan berarti usaha saya
untuk memahamkannya menjadi sia-sia. Tidak, sama sekali tidak. Saya begitu
yakin bahwa saya harus menyampaikannya sejak dini, sejak dia masih bayi bahkan
sejak masih dalam kandungan; bahwa kita memiliki Tuhan, bahwa kita harus
beribadah, bahwa ada Allah yang harus kita utamakan lebih dari segalanya. Bahwa
bukan berarti Ummi tidak menyayangimu,
Nak. Bahkan ummi saaaangat menyayangimu, karena Allah.
Mungkin Albina memang belum mengerti, tapi dia akan lebih
cepat mengerti dibandingkan jika saya (dan/atau suami) belum memberinya
pengertian sama sekali mengenai ini.
Oleh karena itu meski Albina belum berhenti menangis saya
memutuskan untuk membaringkannya di atas kasur. Kemudian saya shalat.
Tapi ternyata urusan ini belum selesai.
Ujiannya, ya Rabbi... betapa saya tidak bisa shalat dengan
khusyuk. Sebagaimana saya tidak bisa konsentrasi mencuci atau masak saat Albina
menangis. Gerakan shalat saya pun jadi tidak tumaninah dan cenderung
terburu-buru. Saya menyelesaikan shalat lebih cepat dari biasanya. Salam kanan,
salam kiri, buka mukena, lalu langsung memangku Albina. Noted: saya sama sekali
tidak dzikir dan berdoa seusai shalat.
Jika ada kekurangan dalam praktek metode pendidikan ini, ini
sepenuhnya keterbatasan saya yang masih harus banyak belajar dan sama sekali
bukan kesalahan metodenya. Bagaimanapun saya yakin, orang tua harus segera
shalat saat adzan berkumandang meskipun anaknya menangis, kecuali jika tangisan anaknya menandakan kondisi darurat. (jika ada
kekeliruan mengenai pemahaman saya mohon diluruskan)
Pada intinya, saya hanya berusaha memberikan pendidikan
spiritual pada anak saya sejak bayi. Salah satunya dengan cara sederhana ini. Tidak
sederhana sebenarnya, karena terus terang saya masih merasa berat dan sulit
saat mempraktekannya. Saya masih harus terus belajar. Begitupun dengan Albina,
ia harus belajar menunggu. Suatu saat ia harus faham bahwa ia tidak bisa
meminta sesuatu pada orang tuanya di saat ummi-abinya harus terlebih dahulu
menunaikan panggilan Allah. Ia harus mengerti bahwa ia sangat dicintai, namun
cinta tidak melulu mengabulkan segala keinginan, apalagi sampai mengabaikan
perintah Allah, ia juga harus mengerti bahwa kelak ia memiliki kewajiban yang
sama dengan orangtuanya dalam beragama.
Pun karena mendidik itu tidak sama dengan mengajar. Kita tidak
cukup hanya dengan berkata bahwa shalat itu wajib, tapi harus memberikan
teladan dengan segera memenuhi panggilan shalat ketika adzan berkumandang. Meskipun
anak menangis. Tegas dalam hal ini mesti, saya kira.
Mendidik juga tidak sama dengan mengasuh, dimana kita
dituntut untuk memberikan kenyamanan pada anak dan memenuhi keinginannya agar
ia tidak menangis.
Mendidik itu menyampaikan, membentuk lingkungan dan menjadi
teladan.
Bayi mungil berusia 50 hari seperti Albina pun perlu
pendidikan spiritual. Misalnya dengan berkata, “wah.. sudah adzan dhuhur, De. Yuk
shalat dulu yuk! Nanti kalau Dede sudah bisa berdiri kita belajar shalat ya..” Itu
pendidikan.
Dengan memutar mp3 murotal di rumah, itu pendidikan. Dengan melafadzkan
basmalah ketika hendak menyusui agar anak mendengarnya, itu pendidikan. Dengan meluruskan
“Hao” menjadi “Allah” saat bayi mulai berceloteh, “Hao Hakeng” menjadi “Allah
Agung”, juga pendidikan. Dengan menutup mulut bayi saay ia nguap dan
mengajarkannya mengucap Allahu Akbar. Dengan melafadkan hamdalah saat ia
bersin, dengan membacakan doa mau tidur ketika ia mengantuk, dengan mengganti
lagu nina bobo menjadi lagu-lagu positif, shalawat apalagi tilawah Quran, itu
semua pendidikan.
Seperti Rasulullah yang memangku Hasan (atau Husen?) cucunya
saat beliau SAW sedang shalat. Bukankah itu sebuah bentuk pendidikan?
***
Senin pukul 21:37
Menca(u)ri waktu tidur Albina, agar bisa nulis.
0 comments:
Post a Comment