Pendidikan Spiritualnya Bayi

7:50 AM Unknown 0 Comments

Mendidik itu beda dengan mengajar, apalagi dengan mengasuh...

***

Kemarin saat adzan maghrib berkumandang, Albina menangis keras. Sejauh ini jika Albina menangis dalam keadaan sudah kenyang dan popoknya tidak basah, berarti tangisan Albina merupakan laporan pada

umminya bahwa ia ingin dipangku. Dalam bahasa isyarat mungkin sebenarnya bayi mungil itu dengan manjanya berkata, “Ummi... gendong aku!”


Sebagai ibu yang baru memiliki satu anak saya yakin, dalam keadaan seperti itu semua ibu pasti langsung menggendong bayinya. Ibu mana yang tidak sayang buah hatinya?

Pun saya, dengan suka cita langsung menghampiri Albina,
“Uuuh sayang... sini sama Ummi.”


Namun muadzin dari speaker masjid depan rumah terus mengumandangkan panggilan shalat, hayya ‘alasshalat.. hingga laa ilaaha illa Allah.. ; tiada Tuhan selain Allah. Tidak ada yang patut disembah selain Allah. Tidak ada yang patut diutamakan selain Allah. Tidak dengan pekerjaan, tidak dengan kesibukan, tidak juga dengan anak. Lantas saya urungkan memangku Albina sambil tersenyum dan berkata padanya,

“De, Ummi shalat dulu ya, Dede tunggu sebentar di sini. Nanti kalo ummi udah selesai shalat kita main lagi.” Ucap saya dengan bahasa Sunda (karena kami sekeluarga ingin Albina bisa nyunda dengan baik, bahasa Indonesia akan ia kenal kemudian).

Albina terus menangis, ia masih ingin digendong. Saya gendong sebentar, ia behenti nangis. Saya tidurkan lagi, ia kembali menangis. Fix. Albina memang ingin digendong.

Nampaknya kalimat yang saya sampaikan (bahwa umminya harus shalat maghrib dulu) belum bisa dia mengerti. Tapi bukan berarti usaha saya untuk memahamkannya menjadi sia-sia. Tidak, sama sekali tidak. Saya begitu yakin bahwa saya harus menyampaikannya sejak dini, sejak dia masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan; bahwa kita memiliki Tuhan, bahwa kita harus beribadah, bahwa ada Allah yang harus kita utamakan lebih dari segalanya. Bahwa bukan berarti Ummi tidak menyayangimu, Nak. Bahkan ummi saaaangat menyayangimu, karena Allah.

Mungkin Albina memang belum mengerti, tapi dia akan lebih cepat mengerti dibandingkan jika saya (dan/atau suami) belum memberinya pengertian sama sekali mengenai ini.

Oleh karena itu meski Albina belum berhenti menangis saya memutuskan untuk membaringkannya di atas kasur. Kemudian saya shalat.

Tapi ternyata urusan ini belum selesai.

Ujiannya, ya Rabbi... betapa saya tidak bisa shalat dengan khusyuk. Sebagaimana saya tidak bisa konsentrasi mencuci atau masak saat Albina menangis. Gerakan shalat saya pun jadi tidak tumaninah dan cenderung terburu-buru. Saya menyelesaikan shalat lebih cepat dari biasanya. Salam kanan, salam kiri, buka mukena, lalu langsung memangku Albina. Noted: saya sama sekali tidak dzikir dan berdoa seusai shalat.

Jika ada kekurangan dalam praktek metode pendidikan ini, ini sepenuhnya keterbatasan saya yang masih harus banyak belajar dan sama sekali bukan kesalahan metodenya. Bagaimanapun saya yakin, orang tua harus segera shalat saat adzan berkumandang meskipun anaknya menangis, kecuali jika tangisan anaknya menandakan kondisi darurat. (jika ada kekeliruan mengenai pemahaman saya mohon diluruskan)

Pada intinya, saya hanya berusaha memberikan pendidikan spiritual pada anak saya sejak bayi. Salah satunya dengan cara sederhana ini. Tidak sederhana sebenarnya, karena terus terang saya masih merasa berat dan sulit saat mempraktekannya. Saya masih harus terus belajar. Begitupun dengan Albina, ia harus belajar menunggu. Suatu saat ia harus faham bahwa ia tidak bisa meminta sesuatu pada orang tuanya di saat ummi-abinya harus terlebih dahulu menunaikan panggilan Allah. Ia harus mengerti bahwa ia sangat dicintai, namun cinta tidak melulu mengabulkan segala keinginan, apalagi sampai mengabaikan perintah Allah, ia juga harus mengerti bahwa kelak ia memiliki kewajiban yang sama dengan orangtuanya dalam beragama. 

Pun karena mendidik itu tidak sama dengan mengajar. Kita tidak cukup hanya dengan berkata bahwa shalat itu wajib, tapi harus memberikan teladan dengan segera memenuhi panggilan shalat ketika adzan berkumandang. Meskipun anak menangis. Tegas dalam hal ini mesti, saya kira.

Mendidik juga tidak sama dengan mengasuh, dimana kita dituntut untuk memberikan kenyamanan pada anak dan memenuhi keinginannya agar ia tidak menangis.

Mendidik itu menyampaikan, membentuk lingkungan dan menjadi teladan.

Bayi mungil berusia 50 hari seperti Albina pun perlu pendidikan spiritual. Misalnya dengan berkata, “wah.. sudah adzan dhuhur, De. Yuk shalat dulu yuk! Nanti kalau Dede sudah bisa berdiri kita belajar shalat ya..” Itu pendidikan.

Dengan memutar mp3 murotal di rumah, itu pendidikan. Dengan melafadzkan basmalah ketika hendak menyusui agar anak mendengarnya, itu pendidikan. Dengan meluruskan “Hao” menjadi “Allah” saat bayi mulai berceloteh, “Hao Hakeng” menjadi “Allah Agung”, juga pendidikan. Dengan menutup mulut bayi saay ia nguap dan mengajarkannya mengucap Allahu Akbar. Dengan melafadkan hamdalah saat ia bersin, dengan membacakan doa mau tidur ketika ia mengantuk, dengan mengganti lagu nina bobo menjadi lagu-lagu positif, shalawat apalagi tilawah Quran, itu semua pendidikan.

Seperti Rasulullah yang memangku Hasan (atau Husen?) cucunya saat beliau SAW sedang shalat. Bukankah itu sebuah bentuk pendidikan?

***


Senin pukul 21:37


Menca(u)ri waktu tidur Albina, agar bisa nulis.

0 comments: