Maukah Berlayar Denganku? (Serial Superboy dan Icih)

9:20 PM Unknown 0 Comments

Seolah Boy mengambil tangannya dan ia letakkan di jantungnya. “Ini aku. Apakah kau mau berlayar?”
Icih hanya terdiam. Tidak menjawab. Tidak senyum, dan tidak manyun. Ekspresi wajahnya datar kendati hatinya melompat-lompat kegirangan.
Tapi tidak!
Tidak setiap yang membahagiakan itu baik. Dan tidak setiap yang baik ditandai dengan kebahagiaan. Karenanya, hingga pertanyaan itu dilontarkan berkali-kali oleh Boy, dan beratus-ratis kali oleh hatinya sendiri, tak pernah sekalipun Icih menemukan jawabannya.
Tidak “ya”, tidak “tidak”, tidak mengangguk, juga tidak menggeleng.
“Ini aku. Apakah kau mau berlayar?”
Lagi, pertanyaan itu selalu terngiang. Di kampus, di sekolah tempat Icih mendidik, di jalan, di angkot, di tempat tidur, di dapur, di dalam mimpi...
dan di dalam mimpi, Icih berharap dapat melihat pertanda sebagai jawaban istikharahnya. Tapi ternyata pertanda itu tak juga kunjung datang. Icih galau.
Hingga tiba saatnya Icih harus mengungkapkan jawaban itu di sebuah tempat yang telah dijanjikan. Jawaban yang harus ia sampaikan tidak hanya pada Boy yang bertanya padanya. Tapi juga pada keluarga yang Boy bawa sebagai tanda keseriusannya.
Saat itu, beberapa detik sebelum ia benar-benar harus menjawab, ia masih tidak tahu apa yang harus ia jawab...
“Aku butuh jawaban-Mu untuk menjadi jawabanku. Aku butuh restu-Mu ya Allah...”
Tidak, masih tidak ada jawaban. Padahal sebelum berangkat ke tempat ini, sepanjang jalan gadis dewasa awal ini memikirkannya masak-masak. Bahkan saat setelah shalat shubuh, doanya lebih panjang dari biasanya. Kemarin malam sebelum tidur, sambil menitikan air mata ia memohon ketetapan hati pada Tuhannya. Kemarin siang, kemarin pagi, berhari-hari dan berminggu-minggu sebelumnya, doa itu tak pernah lupa ia panjatkan. Pun tak lagi ia ingat jumlah istikharah yang telah ditunaikanya. Allah... tak adakah sedikit celah untukku mengintip ketentuan-Mu?
“Bagaimana Icih?”
Kali ini yang bertanya bukan lagi Boy, tapi walinya.
Icih masih terdiam
Terbayang wajah Abah yang berkata,
 “Tidak ada pelayaran sebelum selesai sekolah dan bekerja”
Lalu Ambu,
 “Mau kamu kemanakan cita-citamu?”
Lalu giliran hatinya yang berkata,
“Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang sulit. Sesungguhnya Allah tahu niatku dan ia akan selalu bersamaku selama aku meniatkan semua karena-Nya. Aku yakin gelombang badai apapun akan dapat kulalui. Aku tidak sendiri. Aku tidak sendiri. Innallaha ma’anaa
Selintas  Icih melirik pada Boy. Ada ketegasan disana. Menguatkan hati Icih.
Maka,
“Ya, Insya Allah.”
Jawaban itu terlontar dengan suara yang teramat parau. Lemah. Pelan. Namun dalam hatinya jawaban itu terazzam kuat.
Sejenak ia klarifikasi lidahnya, apa yang baru saja ia katakan? Ya Allah, ia benar-benar berharap, lidah yang menjawab adalah semata bukan hanya lidahnya. Tapi juga lidah-Mu. Ketentuan-Mu. Ridha-Mu.
Dan akhirnya ia tersenyum. Merasa yakin dengan jawabannya. Selanjutnya giliran Abah dan Ambu yang harus ia yakinkan. Selaksa doa memenuhi rongga hatinya.

Bismillah... aku melangkah!


0 comments: