Ibu, Panggilan Baruku

10:32 PM Unknown 0 Comments

Menjadi ibu merupakan impian setiap wanita, saya rasa. Dan impian itu telah saya raih untuk sementara. Mengapa saya katakan sementara? Hmm.. ya, se-sementara saya mengasuh mereka. Dua jam saja. Dari jam delapan hingga sepuluh pagi setiap harinya. Dua jam yang sangat saya nikmati ketika menjadi ibu bagi bagi anak-anak saya (tepatnya murid) di sekolah.

Mungkin kedengarannya biasa saja. Tapi tidak demikian bagi saya. Dan mungkin juga hal ini dirasakan oleh rekan-rekan pengajar PAUD (dan semacamnya) seperti saya.

Kurang dari sebulan saya menggeluti aktivitas itu. Maka sebagaimana saya meyakini bahwa pengalaman baru membawa pelajaran baru, saya merasa betapa siswa-siswa empat tahunan itu mengajari saya berbagai hal: Kesabaran, keikhlasan, persahabatan, keuletan, serta pemahaman tentang tumbuh kembang dan karakteristik anak pada umumnya, dan perbedaan karakter satu anak dengan anak yang lainnya sehingga menuntut saya untuk pandai menyikapi keunikan-keunikan tersebut.

Sebelum menceritakan “anak-anak saya” satu persatu, terlebih dahulu saya ingin mendeskripsikan kondisi sekolah yang baru berdiri satu tahun di kampung saya itu.

Jangan bayangkan PAUD tempat saya “belajar” adalah sebuah sekolah atau kelompok bermain yang megah dan luas dengan fasilitas lengkap yang menunjang perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Tidak! Sungguh jauh panggang dari api. Bagi saya, dengan adanya warga di kampug kami yang tergerak untuk mendirikannya saja, sudah Alhamdulillah.

Kesannya kampung banget? Tidak mengutamakan pendidikan?

Ya. Saya tidak dapat memungkiri persepsi itu. Jelas saja, tidak akan ada semangat belajar yang tinggi jika tujuan dari sekolah adalah hanya untuk mendapatkan selembar ijazah sebagai bekal menjadi karyawan pabrik. Ilmu apakah yang diperlukan untuk manjadi seorang karyawan pabrik? Jika jawabannya adalah hanya “baca tulis”, maka memang itulah target yang ingin dicapai dari sekolah SD sampai SMA.

Sejak saya masih duduk di bangku TK, di kampung saya, anak yang juga mengenyam pendidikan TK hanya satu dua. Dan keadaan itu terus berlanjut sampai saya menginjak bangku sekolah menengah. Masih banyak orang tua yang berpikiran bahwa tidak banyak yang bisa didapatkan dengan mendaftarkan anak-anaknya ke TK. Maka ketika saat ini saya melihat ada warga yang terketuk hatinya untuk mengunjungui departemen pendidikan dan mengutarakan maksudnya untuk mendirikan PAUD di kampung kami, saya merasakan seberkas cahaya mulai menerangi kampung kami (deu.. lebay!). setidaknya meski baru PAUD saja, anak-anak kini memiliki tempat untuk bermain sambil belajar dengan adanya bimbingan dari seorang guru.

Dan di PAUD inilah saya mengisi liburan panjang saya: PAUD Nurunnisa.

Pertama kali mengunjunginya, pertanyaan pertama yang terlontar dalam benak saya adalah, apa anak-anak merasa nyaman belajar di ruangan berukuran 2x2 meter seperti ini?

“Jumlah muridnya baerapa, bu?” tanya saya pada Bu Nur. Satu-satunya pengajar di sana.
“Sebelas. “
Aku membayangkan sebelas anak yang mungkin kesulitan bergerak bebas dalam luas ruangan yang terbatas.

“Tahun lalu sampai dua puluh tiga, tapi sepertinya para orang tua kurang percaya bahwa sekolah ini bisa membimbing anak-anaknya dengan baik karena sampai sekarang gurunya tak juga bertambah.” Lanjutnya.

Aku hanya tersentum. Kemudian menebak-nebak alasan lain yang mungkin jadi penyebab lain berkurangnya jumlah siswa dibandingkan dengan tahun lalu.

Wajar sebanarnya jika siswanya masih sedikit, sekolah ini baru berdiri satu tahun. Tapi meski baru, publikasi bisa disiasati tentu. Membuat spanduk misalnya. Cukup satu spanduk di depan sekolah, tidak perlu memasang benner di jalan-jalan atau iklan melalui media massa. Mengingat kapasitas PAUD Nurunnisa yang memang masih terbatas. Terbatas dari segi fasilitas, manajemen, juga pengajar. Ya, satu spanduk untuk mengundang calon siswa dari tetangga-tetangga dekat yang sudah memasuki usia TK.

Ruangan sempit yang tidak berwarna itu, dengan cukup kreatif  diakali Bu Nur. Banyak pernak pernik dari karton spot light membentuk gambar buah-buahan yang disesuaikan dengan warna aslinya. Mainan ape dalam seperti balok, puzzle dan bola-bola plastik sudah ada. Ape luar juga meski tidak lengkap, tapi cukup membuat anak-anak girang bergiliran naik perosotan atau ayunan.

O tidak, tidak semua anak. Ada beberapa anak yang terlihat tidak mau bermain dengan teman-temannya. Entah karena masih malu-malu, atau memang tidak berminat. Salah satunya Tiara, gadis kecil empat tahunan dengan kulit hitam manis ini tidak akan berkata apa-apa kalau tidak ada yang bertanya. Jawaban yang ia lontarkan ketika saya cerewet bertanya pun, terbatas hanya pada anggukan atau gelengan kepala saja.  Ketika awal pembelajaran, setelah membaca doa belajar dan bernyanyi, setiap saya bertanya,

“ Mau belajar atau bermain?’

Rata-rata anak menjawab ingin bermain. Tiara hanya diam. Lalu saya menghampirinya dan betanya khususon padanya sambil menawarkan sebuah puzzle,
“Tiara mau main ini? liat, ini kalo dipasang bisa membantuk gambar mobil lho. Mau?”
Dia menggeleng.
“Atau mau belajar?”
Aha, Tiara mengangguk!

Anak-anak memang unik. Tiara memang belum optimal perkembangan sosialnya, dia juga terlihat kurang lincah dan ceria. Tapi ketika disodorkan pada persoalan intelektual, dia akan gesit menyelesaikannya. Dalam usia empat tahun Tiara sudah bisa menulis alfabet dengan rapi, cepat dan tanpa mengeluh.

Berbeda dengan Tiara, Daffa trelihat sebaliknya. Anak yang setiap 1 menit 1x memanggilku ini lebih senang bermain sambil belajar. Kesukannya menyusun fuzzle. Fuzzle menurutku bukan sekedar permainan. Bentunya memang mainan, tapi mainan ini bisa merangsang aspek kognitif anak.

Teringat sebuah seminar yang saya ikuti tentang jujur dalam pendidikan, salah satu hal yang harus diperhatikan dalam membangun kejujuran dalam semua aspek pendidikan adalah jujur dalam kurikulum. Di sini saya menangkap bahwa kurikulum hendaknya tidak memaksakan siswa untuk mempelajari dan harus pandai dalam suatu materi pelajaran yang diajarkan. Setiap anak memiliki bakat yang berbeda-beda. Biarlah mereka menjadi ahli dalam bidang  yang mereka minati dan kuasai. Jangan paksakan burung untuk pandai berenang. Jangan paksakan seorang seniman untuk menjadi dokter.

Masih tentang Daffa, hmm… kayaknya kalo udah gede anak ini bakalan ganteng nih, (hehe.. ibu gurunya genit!). daffa selalu enggan diajak belajar mengenal alphabet, angka, buah-buahan, menulis, menggambar, mewarnai, ataupun bernyanyi. Duh, sempat terpikir juga, Daffa ini sukanya apa toh? Ini nggak mau itu nggak mau! Satu hal yang paling Daffa suka adalah bermain: menyusun fuzzle, lari keluar untuk main perosotan, atau mengajak main mobil-mobilan pada teman-temannya yang tengah menggambar. Ya Allah... cepat kuputar otakku untuk mencari jalan keluar menghadapi anak yang satu ini. Guru yang baik tidak akan men-judge siswanya nakal, bodoh, malas, atau predikat negative lainnya. Dalam setiap kasus pastilah ada penyebabnya yang mungkin berasal dari pengalaman masa kecil, lingkungan atau keluarga. Jadilah saya mengkomunikasikan perihal gaya belajar daffa pada orang tuanya.

“Daffa sudah hafal bentuk-bentuk alphabet dan angka-angka. Di rumah, ayahnya yang mengajarinya” Kata Ibu Daffa. Jawaban yang sama sekali tidak kusangka. Maka kesimpulan baru yang kudapat adalah tidak selamanya anak enggan belajar karena ia malas, bisa saja karena ia sudah jenuh dengan materi pelajaran yang sudah ia kuasai. Di rumah, Daffa sudah rajin balajar. Di sekolah, ketika ia menemukan mainan yang tidak ia dapatkan di rumah, ia begitu ingin mengeksplorasinya. Pendidikan tidak terbatas dalam arti pengajaran aspek intelektual. Dengan bermain, berlari, anak berarti mengembangkan aspek motoriknya, juga mengembangkan aspek psikososial dengan belajar bergaul dengan teman sebayanya.

Khawatir tulisan saya kepanjangan (dan berhubung sudah ngantuk juga, hehe), saya akhiri dulu saja cerita saya. Yang terpenting adalah ketika saya mengungkap apa yang saya fahami dari suatu fenomena (beuraat..!) saya tidak berhenti hanya dengan memahaminya saja. Harus ada follow up yang menambah kebermaknaan pengetahuan kita. Sampai saat ini, yang mampu saya lakukan adalah dengan menyisipkan pelajaran lewat permainan fuzzle pada anak yang suka fuzzle, menerapkan sikap kerja sama dan saling menghargai dalam permainan ayunan dan perosotan, mengajarkan keindahan lewat gambar dan warna pada anak yang suka menggambar dan mewarnai, dan lain sebagainya. Karena Allahpun mengajarkan sains, kerja sama, menghargai, juga keindahan.

Innama al-ilmu bi at-ta’allumi.

Semoga Allah selalu memberi kita kesempatan untuk membuktikan pada-Nya, bahwa kelak, kita akan mampu mengemban amanah-Nya, menggemakan asma-Nya di muka bumi melalui keturunan-keturunan kita. Aamiin!





Memory of Ramadhan
September 2011

0 comments:

Karaktermu = Shalatmu

10:00 PM Unknown 0 Comments

Seperti halnya malam dengan gelapnya ataupun siang dengan terangnya, setiap individu memiliki karakteristik masing-masing. Ada yang ‘terang’ dan ada yang ‘gelap’.
Pada dasarnya, hal ini disebabkan manusia berada pada posisi pertengahan, yaitu antara baik dan buruk. Meskipun manusia dinobatkan sebagai makhluk yang sempurna, namun tidak setiap manusia memiliki karakter yang sempurna pula, dalam artian bercitra baik di hadapan sesama manusia maupun dihadapan Allah SWT. Karena selain berpotensi untuk berbuat baik, setiap individu juga memiliki kecenderungan untuk memperbuat sesuatu yang tidak baik atau mengikuti hawa nafsunya yang kemudian berpaling dari ajaran Islam.


Ketika seorang muslim mengikuti hawa nafsunya tersebut, maka identitasnya sebagai umat Islam akan sulit dikenali. Padahal Rsulullah SAW telah mencontohkan perilaku muslim yang seharusnya, baik dalam perkataan, perbuatan, pemikiran dan lain sebagainya untuk dijadikan teladan bagi seluruh umatnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik…” (QS Al- Ahzab: 21)

Setiap umat Islam harus menyadari sepenuhnya bimbingan Allah melalui sunnah Rasulullah agar selalu ingat dan berintrospeksi terhadap apa yang telah diperbuatnya. Dengan demikian kita dapat mengukur sejauh mana kita meneladani Rasulullah.
Seorang muslim berkewajiban memperbaiki dirinya sebelum bertindak lebih jauh karena seorang muslim seharusnya memiliki akhlaqul karimah dan berusaha membentuk dirinya sebagai umat Islam yang berbudi luhur.

Untuk mencapai semua itu kita harus memulainya dari saat ini, karena karakteristik pribadi muslim dapat dibentuk dari perilaku atau kegiatan sehari-harinya. Sebagai contoh, jika seorang muslim rajin beribadah, maka dari setiap waktu yang dilaluinya ia akan selalu teringat kepada Allah. Dengan itu, ketika ia berpikir untuk mencoba melakukan sesuatu yang dilarang agama, maka hati kecilnya akan membantahnya , karena sedah terkait denga ajaran Islam.

Lain lagi dengan seseorang yang perilaku atau kegiatan sehari-harinya jauh dari mengingat Allah, maka tatkala ia bermaksud untuk melakukan sesuatu yan dilarang agama-pun, hati kecilnya tidak akan membantah karena mungkin baginya hal itu bukanlah perbuatan yang salah.

Faktor rutinitas ibadah pertama yang paling berpengaruh terhadap pembentikan pribadi muslim adalah shalat. Dalam tingkatan rukun Islam, shalat menduduki posisi kedua setelah syahadat. Hal ini menggabarkan bahwa shalat merupakan bagian yang penting dalam bangunan Islam. Dalam sebuah hadits ditegaskan bahwa shalat merupakan tiangnya agama. Selayaknya fungsi tiang, shalat merupakan factor yang sangat menentukan tegak atau robohnya bangunan Islam tersebut dalam diri seorang muslim.

Dengan kata lain, shalat menjadi tolak ukur terhadap kuat atau lemahnya aspek religi dalam diri seorang hamba. Seseorang yang sudah mampu mendirikan rukun Islam yang kedua ini dengan sempurna, maka dapat dipastikan dirinya menjadi seorang muslim yang memiliki akhlaqul karimah, karena niscaya shalatnya dapat membentengi terhadap perbuatan keji dan munkar. Allah SWT berfirman:
“…dan dirikanlah shalat karena sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar…” (QS Al- Ankabut: 45)

Diantara ibadah-ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam, shalat memiliki kedudukan tersendiri. Hal ini bisa kita lihat karena ibadah-ibadah wajib lain, seperti shaum, zakat dan haji hanya dilakukan sekali dalam setahun, sedangkan shalat merupakan ibadah yang dilakukan secara kontinyu (terus-menerus). Hal ini semata-mata bukan hanya rutinitas atau label agama saja, akan tetapi dibalik semua itu tersimpan makna serta keistimewaan-keistimewaan yang diantaranya sebagai pembentuk karakter atau budi pekerti.

Tercatat dalam sejarah, bahwa shalat adalah ibadah yang pertama diwajibkan oeh Allah. Selain itu, berbeda dengan ibadah lain yang disampaikan kepada Rasulullah dengan perantara wahyu, shalat disampaikan secara langsung ketika Rasul menjalani peristiwa Isra Mi’raj.

Identitas seorang muslim tidak terlepas dari ibadah shalat, karena shalat merupakan factor yang membedakan antara pribadi muslim dengan kafir. Orang muslim yang Islamnya benar, pasti melakukan ibadah shalat dengan kesungguhan dan kekhusyukan seraya berjamaah. Sedangkan mereka yang Islamnya hanya pengakuan saja, shalat hanya sekedar lambang atau keinginan untuk mendapatkan pengakuan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Amalan yang pertama kali dihisab dari seseorang di akhirat nanti ialah shalatnya, jika shalatnya diterima, maka akan diterima pulalah amalan-amalannya yang lain, tetapi jika shalatnya ditolak, maka akan ditolak pula amalan-amalan yang yang lainnya.” (HR Thabrani)

Dari hadits di atas dapat difahami bahwa shalat dalah kunci diterima atau tidaknya amal seseorang. Maka jelaslah, bahwa shalat memiliki peranan besar bagi kehidupan manusia khususnya dalam pembentukan pribadi muslim. Teori ini kiranya perlu direalisasikan oleh semua umat muslim, dimulai dari didirikannya shalat dengan sempurna sehingga berpengaruh terhadap pembentukkan karakternya.

0 comments:

Dirimu dalam Do'a

11:59 PM Unknown 2 Comments

Sebongkah do’a dan sebuah pertanyaan retoris untukmu,
“Di usia ke-22, apa yang sudah kau hasilkan? Apa yang sudah kau kerjakan? Apa yang yang sudah kau punya?
Di usia ke-22, sudah jadi apa dirimu?”
Sebongkah doa, kuazzamkan dalam hatiku, kutorehkan dalam catatanku, berharap malaikat mengamini setiap ucapku, berharap Allah menyulap Kun. Fayakun.
Di angka usiamu yang semakin bertambah, dan jatah usiamu yang setiap detik berkurang, doaku,

  1. Semoga semakin tafaqquh fiddin.
  2. Selalu berbakti pada orangtua, membuat mereka bahagia dan bangga dengan mewujudkan impian besar mereka.
  3. Semoga berhasil menjadi kakak yang memberikan teladan baik bagi adik-adiknya.
  4. Selalu dapat memahami Ghina dan Rusydi sebagai dua orang adik dengan perbedaan usia, jenis kelamin, dan kepribadian.
  5. Semakin dan semakin dekat dengan keluarga.
  6.  Semoga dapat lebih ekstrovert di lingkungan keluarga besar.
  7.  Memiliki semangat belajar yang tak pernah mati.
  8. Semoga dilancarkan urusan perkuliahannya.
  9. Lekas susun skripsi, sidang, wisuda, lulus dan tidak perlu mengulang satu mata kuliahpun.
  10. Semoga ilmu yang didapatkan bermanfaat dan diamalkan di jalan-Nya.
  11. Semoga tidak malas lagi mengerjakan tugas ya, Aka.
  12. Semoga dengan adanya Aka, yayasan mengalami banyak kemajuan.
  13. Semoga Akapun dapat belajar banyak dari sana.
  14. Semoga bisa menjadi guru yang baik meskipun tidak berasal dari fakultas keguruan.
  15.  Semoga Aka dapat menyampaikan pemikiran-pemikiran Aka tanpa merasa canggung dan ragu disana, di pesantren, di sekolah, di lingkungan keluarga.
  16. Semoga di yayasan aka bisa diterima dengan baik oleh seluruh civitas. Oleh kepala sekolah, guru-guru lain, penjaga sekolah, pedagang, cleaning service, dan tentunya oleh para siswa.
  17. Semoga Aka bisa membagi waktu secara proposional antara semua aktivitas Aka.
  18. Semoga dapat memilih organisasi yang tepat untuk Aka berkembang dan mengembangkannya.
  19. Semoga organisasi apapun itu, dapat menjadi kendaraan Aka untuk menggapai ridho-Nya.
  20. Semoga aka, kita, dapat meredakan kegelisahan Rasulullah yang berucap di ujung hayatnya, “Ummatii.. Ummatii..”
  21. Semoga dapat menjadi pemimpin yang bijaksana, dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam agama.
  22. Semoga harapan Aka untuk menjadi pemimpin yang seperti Umar Bin Khattab dapat tercapai.
  23. Semoga dimanapun Aka berada, disana Aka dapat selalu menjadi pelita, bahkan matahari.
  24.  Semoga selalu dapat mempertangggung jawabkan angka usia.
  25. Semoga tak akan pernah ada gurat kekecewaan dari orang-orang yang menaruh kepercayaan kepada Aka.
  26. Semoga waktu selalu berpihak pada mimpi-mimpinya Aka.
  27.  Semoga Allah memberikan semangat belajar yang lebih tinggi pada Aka, dibandingkan dengan tantangannya.
  28. Semoga Aka dilancarkan dalam berkarier,  sukses akhirat dan sukses dunia, agar bisa membangun mesjid, sekolah, dan lapangan pekerjaan bagi ribuan orang.
  29. Semoga Aka mendapatkan pendamping hidup yang dapat mengiringi perjuangan Aka.
  30. Semoga menjadi ahli syukur, ahli shadaqah, ahli ibadah, ahli surga.
  31. Semakinlah dewasa dalam arti yang sesungguhnya.
  32. Semoga dapat mengurangi porsi tempramentalnya.
  33.  Semoga selalu pandai membawa dan menempatkan diri.
  34. Semakin lihai melebur ego untuk hal yang positif.
  35. Semakin komunikatif, produktif, kreatif, inovatif dan inspiratif.
  36. Semoga semakin dapat memahami Ade.
  37. Semoga tak lekas lelah mendidik ade.
  38. Semoga dapat tetap menjadi tempat berdiskusi bagi Ade, dan bagi siapapun yang akan membuat Aka merasa semakin berarti.
  39. Semoga dapat selalu menjadi teman, kakak, sahabat, dan guru yang baik bagi Ade.
  40. Selalu dan selalu mewarisi keutamaan hujan. Menjadi hujan.
  41. Semoga Aka bisa semakin dekat dengan keluarga Ade.
  42. Dapat membantu Ade berjuang dalam keluarga Ade.
  43. Tidak canggung, malu, atau speechless saat ngobrol dengan keluarga Ade.
  44. Semoga orangtua dan adik-adik Ade semakin dapat menerima dan menyayangi Aka sebagaimana Ade demikian terhadap Aka.
  45. Semoga Aka selalu dilimpahi kesehatan. Kuruspun tak apa. Asal sehat. Kuat.
  46. Semoga selalu dianugerahi kebahagiaan hakiki.
  47. Diberi kemudahan dalam setiap persoalan.
  48. Kesabaran yang seluas lautan.
  49. Kesyukuran yang tak pernah ada batas.
  50. Semoga selalu, selalu dan selalu dapat meneladani Rasulullah Muhammad saw.
  51. Semoga kecerdasan yang telah Allah anugerahkan, menjadi jalan menuju rahmat-Nya.
  52. Semoga dapat kembali semangat menulis. Mengoptimalkan potensi yang diberikan-Nya. Berdakwah melalui tulisan.
  53. Semoga semakin cakep ;)
  54. Semoga Allah memberikan segala yang Aka butuhkan pada waktu yang terbaik menurut-Nya.
  55. Semoga disaat siapapun memandang Aka, mereka seperti melihat Al-Quran yang berjalan.
  56. Semakin dapat mengelola aktivitas, memperhatikan dan merealisasikan fiqih prioritas dengan baik.
  57. Semoga dimudahkan dan diizinkan-Nya untuk lekas menggenapkan separuh agama.
  58. Semoga dapat mengangkat harkat keluarga, sesuai harapan orangtua.
  59. Semoga benar, kita dipertemukan dan kelak dipersatukan untuk menjadi sepasang mujahid yang berjuang untuk menggemakan asma-Nya.
  60. Semoga malaikat mengamini doa-doa Aka, dan do’a-do’a Ade untuk Aka.

Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin...

2 comments:

Show don't/and Tell

2:04 AM Unknown 0 Comments


Hal yang menarik dari hubungan kita adalah adanya diskusi yang tidak hanya menyangkut masalah logika, tapi juga mengenai perasaan. Tentu bukan beralay-alay atau bermelankolis ria. Tapi bagiku ini cukup menjadi perhitungan seberapa rasional perasaan yang kupunya untukmu. Meskipun sebenarnya tak berhaklah kita mengukur masalah hati dengan menggunakan logika.
Pernah suatu hari kukatakan,
“Peraturan mencintai itu seperti peraturan dalam menulis fiksi.” Kataku, maklum kita sama-sama menggeluti bidang sastra.
Show, DON’T tell.” Lanjutku.
“Hei, show AND tell.” Katamu langsung menangkis argumenku.
Ya ya ya, show and tell sesering, sebanyak dan setulus mungkin, hanya pada mahramnya. Aku bergumam. Lantas bahasa tubuhku hanya tersenyum, entah kau dapat membaca pikiranku atau tidak. Tapi berakhirnya percakapan kita mengenai ini kurasa karena kita telah sama-sama menemukan kesimpulannya. Tanpa harus didiskusikan kembali.
Sekarang aku bertanya terang-terangan padamu, kau setuju dengan pendapat terakhirku, bukan?

0 comments:

Brankas Rumah Kita

6:15 PM Unknown 0 Comments

Kau mengajariku menyimpan cerita. Meminta mulut, mata, dan bahasa tubuh apapun untuk bungkam. Tak semua kisah bisa kubagikan, katamu. Meski karenanya aku merasa semakin jauh dengan sahabat-sahabatku.
“Berceritalah padaku. Dengan senang hati aku menyimakmu.”
Aku tersenyum. Rupanya kau ingin menjadi sahabatku.
“Ceritakan bahagiamu pada mereka. Dan sedihmu padaku saja.”
Aku tak mampu berkata-kata. Tak tahu benar maksud pintamu. Yang kutahu, aku memang perlu belajar. Semua tentang kita baiknya hanya kita yang simpan.
Kelak ini bernama rahasia keluarga. Kusimpan baik-baik dalam brankas rumah kita. Hanya aku dan kamu pemegang kuncinya.

0 comments:

Khitbah: Tidak Mengubah Apa-apa

12:56 AM Unknown 0 Comments


Banyak literatur yang berbicara mengenai khitbah atau pinangan. Kita bisa menemukan referensi yang cukup mengenai itu, mulai dari definisi, larangan dalam mengkhitbah, syarat mengkhitbah, dan konsep-konsep lainnya yang secara tuntas dikupas lengkap dengan dalil-dalilnya.
Karenanya,bukan konsep umum itu yang hendak saya paparkan. Semuanya sudah jelas, Khitbah adalah kegiatan bertanya yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan mengenai kesedian si perempuan untuk menikah dengannya, atau sebaliknya. Adapun mengenai tata caranya, dalam syariat Islam sendiri simpel saja sebenarnya, hanya saja menjadi berkurang kesimpelannya ketika kita berbicara menggunakan konteks budaya. Sunda khususnya. Baiklah, mengenai hal inipun tidak akan saya bahas lebih lanjut pada kesempatan kali ini. Semoga bisa kita perbincangkan pada kesempatan lain.
Tujuan saya menulis ini adalah untuk menegaskan bahwa khitbah tidaklah mengubah apa-apa. Kecuali khitbah seharusnya menyadarkan kita betapa persiapan kita haruslah lebih ekstra dalam menghadapi terucapanya janji mitsaqan ghalidzo. Dalam menghadapi tersempurnakannya separuh agama kita.
Sungguh, khitbah tidaklah mengubah apa-apa. Hal ini tentu sangat difahami oleh para ikhwan-akhwat, perempuan – laki-laki, cewek – cowok (atau apapun sebutannya) yang tidak menggeluti aktivitas pacaran. Khitbah bukanlah setengah pernikahan, pertanyaan yang dilontarkan pihak laki-laki bukanlah kalimat ijab qabul yang menghalalkan seorang laki-laki dan perempuan untuk berpegangan tangan dan sebagainya. Anggukan kepala atau senyuman pertanda jawaban “Ya” dari pihak perempuan, bukanlah sebuah mantra ajaib yang membolehkan keduanya menjadi sering bertemu untuk mengekspresikan perasaan dan mencurahkan perhatian satu sama lain. Dan janji akan menikah di kemuadian hari tidak lantas menjadikan keduanya merasa telah saling memiliki.
Bagi seorang perempuan, secara psikologis khitbah memunculkan suatu ketenangan dalam diri. Setidaknya telah ada kepastian bahwa seorang laki-laki yang mendatanginya adalah memang memiliki niat baik dan sungguh-sungguh akan menikahinya.
Dan bagi seorang laki-laki, khitbah menjadi motivasi tersendiri layaknya jam alarm yang akan mengingatkannya untuk bangun dari mimpi, menata hari ini dan membangun masa depan. Mempersiapkan diri untuk menjemput perempuan yang telah dipinangnya.
Persiapan diri seperti ini juga berlaku bagi perempuan. Seorang perempuan yang telah dipinang hendaknya berkaca diri mengenai apa-apa yang belum dan seharusnya ia kuasai sebagai seorang istri. Memasak misalkan. Mengelola keuangan, membaca buku-buku tentang kehidupan berkeluarga, kehamilan, pendidikan anak, berkenalan lebih jauh dengan calon pasangan, dengan keluarga calon pasangan, mengelola emosi, melebur ego, memahami kelemahan calon pasangan, segala sesuatu yang membuatnya senang, yang membuatnya marah, mengungkapkan mimpi-mimpi masing-masing, kendala masing-masing, visi misi dalam berkeluarga, dan lain sebagainya mulai persiapan psikologis, biologis, budaya, sampai finansial.
Satu hal yang perlu diperhatikan, perbincangan mengenai persiapan pernikahanpun tidak lantas membuat keduanya menjadikan itu semua alasan untuk dapat benbincang dengan leluasa. Selama ijab qabul belum terucapkan, batasan itu masih ada. Masih tebal.
Dan disinilah tantangannya. Meski khitbah adalah suatu kegiatan yang positif, namun keadaan setelah khitbah adalah tantangan tersendiri bagi kedua calon pasangan. Membaca buku-buku peenikahan dengan niat mempersiapkan diri, tidak jarang malah menambah keinginan untuk mentergesai terlaksananya pernikahan. Perbincangan mengenai persiapan pernikahanpun terkadang adalah pintu setan untuk keduanya saling beradu pandang. Dan masa penantian adalah ujian tersendiri yang harus dipastikan diisi dengan kegiatan meningakatkan kualitas pribadi.
Karenanya, sekali lagi, khitbah tidaklah mengubah apa-apa. Kecuali ia seharusnya menyadarkan betapa persiapan kita haruslah lebih ekstra dalam menghadapi sebuah hari yang dinantikan: Pernikahan.

0 comments:

Maukah Berlayar Denganku? (Serial Superboy dan Icih)

9:20 PM Unknown 0 Comments

Seolah Boy mengambil tangannya dan ia letakkan di jantungnya. “Ini aku. Apakah kau mau berlayar?”
Icih hanya terdiam. Tidak menjawab. Tidak senyum, dan tidak manyun. Ekspresi wajahnya datar kendati hatinya melompat-lompat kegirangan.
Tapi tidak!
Tidak setiap yang membahagiakan itu baik. Dan tidak setiap yang baik ditandai dengan kebahagiaan. Karenanya, hingga pertanyaan itu dilontarkan berkali-kali oleh Boy, dan beratus-ratis kali oleh hatinya sendiri, tak pernah sekalipun Icih menemukan jawabannya.
Tidak “ya”, tidak “tidak”, tidak mengangguk, juga tidak menggeleng.
“Ini aku. Apakah kau mau berlayar?”
Lagi, pertanyaan itu selalu terngiang. Di kampus, di sekolah tempat Icih mendidik, di jalan, di angkot, di tempat tidur, di dapur, di dalam mimpi...
dan di dalam mimpi, Icih berharap dapat melihat pertanda sebagai jawaban istikharahnya. Tapi ternyata pertanda itu tak juga kunjung datang. Icih galau.
Hingga tiba saatnya Icih harus mengungkapkan jawaban itu di sebuah tempat yang telah dijanjikan. Jawaban yang harus ia sampaikan tidak hanya pada Boy yang bertanya padanya. Tapi juga pada keluarga yang Boy bawa sebagai tanda keseriusannya.
Saat itu, beberapa detik sebelum ia benar-benar harus menjawab, ia masih tidak tahu apa yang harus ia jawab...
“Aku butuh jawaban-Mu untuk menjadi jawabanku. Aku butuh restu-Mu ya Allah...”
Tidak, masih tidak ada jawaban. Padahal sebelum berangkat ke tempat ini, sepanjang jalan gadis dewasa awal ini memikirkannya masak-masak. Bahkan saat setelah shalat shubuh, doanya lebih panjang dari biasanya. Kemarin malam sebelum tidur, sambil menitikan air mata ia memohon ketetapan hati pada Tuhannya. Kemarin siang, kemarin pagi, berhari-hari dan berminggu-minggu sebelumnya, doa itu tak pernah lupa ia panjatkan. Pun tak lagi ia ingat jumlah istikharah yang telah ditunaikanya. Allah... tak adakah sedikit celah untukku mengintip ketentuan-Mu?
“Bagaimana Icih?”
Kali ini yang bertanya bukan lagi Boy, tapi walinya.
Icih masih terdiam
Terbayang wajah Abah yang berkata,
 “Tidak ada pelayaran sebelum selesai sekolah dan bekerja”
Lalu Ambu,
 “Mau kamu kemanakan cita-citamu?”
Lalu giliran hatinya yang berkata,
“Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang sulit. Sesungguhnya Allah tahu niatku dan ia akan selalu bersamaku selama aku meniatkan semua karena-Nya. Aku yakin gelombang badai apapun akan dapat kulalui. Aku tidak sendiri. Aku tidak sendiri. Innallaha ma’anaa
Selintas  Icih melirik pada Boy. Ada ketegasan disana. Menguatkan hati Icih.
Maka,
“Ya, Insya Allah.”
Jawaban itu terlontar dengan suara yang teramat parau. Lemah. Pelan. Namun dalam hatinya jawaban itu terazzam kuat.
Sejenak ia klarifikasi lidahnya, apa yang baru saja ia katakan? Ya Allah, ia benar-benar berharap, lidah yang menjawab adalah semata bukan hanya lidahnya. Tapi juga lidah-Mu. Ketentuan-Mu. Ridha-Mu.
Dan akhirnya ia tersenyum. Merasa yakin dengan jawabannya. Selanjutnya giliran Abah dan Ambu yang harus ia yakinkan. Selaksa doa memenuhi rongga hatinya.

Bismillah... aku melangkah!


0 comments:

Pulang!

9:18 PM Unknown 2 Comments

“Pulang Vi, mumpung masih lajang, udah nikah mah susah mau ketemu mamah teh"

Kata Yuni, salah seorang teman yang sudah nikah. Serius sekali yuni mengatakan itu padaku. Dia tahu benar bagaimana rasanya menahan rindu pada ibu. Saking seriusnya, Yuni menceritakan sepenggal kisah pengorbanan ibunya ketika dia kecil.

“Vi, waktu yuni SD, kan pulangnya hujan gede, yuni nggak bawa payung, tapi ternyata ibu bela-belain ngejemput. Padahal ibu lagi sakit!”

Aku juga pernah mengalami itu. Ketika tinggal di asrama pesantren, jam 11 malam aku menelpon mamah sambil nangis, mengadu bahwa aku sakit. Saat itu juga mamah menjemputku ke garut.
Yuni melanjutkan dengan cerita-cerita lain tentang pengorbanan ibunya. Semua cerita itu, akupun pernah merasakan.

“vi, yang namanya ibu kasih sayangnya tak terukur, tanpa pamrih, tulus. Uni berkata begini karena sekarang yuni juga sudah bisa merasakan.”
Teman sekelasku ini memang sekarang sudah memiliki seorang bayi kecil.
“berbakti, Vi. Mumpung mamah masih ada.” Kata temanku yang lain.

Rasanya jlebb sekali. beberapa orang mengerubuni dan menasehatiku agar memenuhi keinginan mamah agar aku pulang. Seolah aku adalah seorang anak durhaka yang enggan tinggal di rumah. Naudzubillah…

Mamah minta aku pulang. Berminggu-minggu belum sempat pulang. Mamah tidak memaksa, tapi aku tahu mamah mengatakan itu dengan penuh harap. Dan karenanya sahabat-sahabatkupun ikut bertindak.
“Vi, kata hadits juga ibu, ibu, ibu. Coba cari haditsnya ada nggak yang bilang organisasi, organisasi, organisasi.” Kata temanku lagi.

Mungkin dia kesal karena seringkali organisasi menjadi alasanku tak menyempatkan waktu untuk pulang.
Minggu ini tugas kuliah lagi banyak,
minggu ini FLP ada acara,
HIMI ada acara,
Mau rapat,
Seminar,
harus ke sana,
harus ke sini,
harus ngajar, dll…
aku jarang pulang, karena begitu banyak tanggung jawab yang harus kutunaikan disini. Ya, aku berpikir demikian seolah pulang bukanlah tanggung jawab.

Aku ingat bagaimana sebuah film atau iklan di TV menggambarkan seorang anak rantau yang sudah sukses di luar kota. Karenannya si anak sulit menemukan waktu luang untuk pulang menemui ibunya. Sedang nun jauh disana sang ibu tak bosan menatap halaman rumahnya, berharap anak tercinta berlari menuju rumah sambil tersenyum dan melambaikan tangan pada ibunya. Namun harapan baru terwujud ketika mata sang ibu tak mampu lagi terbuka untuk selamanya.

Allah, aku tak mau itu terjadi padaku…

Tapi tanpa bermaksud untuk lagi-lagi menggunakan alasan yang sama, minggu ini memang sedang banyak tugas kuliah, dan hari sabtu aku harus praktek di sekolah, HIMA-HIMI Persis UPI ada rilah, FLP Bandung hari minggu ada Kuliah Kepenulisan, dan ada rapat Silatda.

Tapi mamah memintaku pulang.

Dan teman-temanku ‘memaksa’ agar aku memenuhi keinginan mamah.
Sungguh, akupun ingin pulang. aku tidak ingin menyesal karena tak bisa membahagiakan orang tua. Dan caraku membahagiakan mereka saat ini sebenarnya mudah: aku hanya perlu pulang!

Dan aku pulang.

Dengan membatalkan acara ikut Training yang sebelumnya sudah aku agendakan.
Dengan ridha dari Khilda, temanku yang sekaligus ketua HIMI Persis UPI itu.
“Ida rela Via nggak ikut rihlah bareng himi, gak apa-apa. Pulang aja, Vi. Kasian mamah” katanya tulus.

dan keesokan harinya aku harus menunaikan tugasku sebagai panitia Kuliah Kepenulisan FLP Bandung, entah esok aku sudah ada di Bandung lagi sehingga bisa menunaikan tugasku ini, atau aku akan melakukan hal yang sama; menjelaskan pada rekan-rekan FLP Bandung bahwa aku harus pulang.

selain itu, selepas Kuliah Kepenulisan seharusnya aku langsung caw ke Viaduct, ada agenda merapatkan barisan panitia Silatda I Bandung Raya. Semoga panitia Silatdapun bisa mengerti.

Dan aku pulang. dengan kerinduan yang membuncah, dengan rasa bersalah karena seringkali tidak memprioritaskan keluarga. Meski kata salah satu temanku,
“Coba dikomunikasikan dengan baik, pasti akhirnya mereka bisa mengerti dan malah jadi bangga karena anaknya bisa aktif, bermanfaat bagi banyak orang”

Ya, benar sekali. Tapi aku jadi berpikir. Jika aku bisa memberikan penjelasan pada orangtuaku bahwa aku harus mengerjakan ini dan itu terkait tanggung jawabku dalam berorganisasi,  mengapa aku tidak bisa menjelaskan pada rekan-rekanku di organisasi atau kepanitian itu bahwa akupun harus meluangkan waktu untuk mengerjakan ini dan itu terkait tanggung jawabku sebagai anak?

Jika aku bisa mengatakan bahwa kiprahku dalam berorganisasi adalah menebar manfaat untuk banyak orang, mengapa aku tidak bisa mengatakan bahwa berbakti pada orang tua adalah bentuk pengabdian yang sangat diutamakan oleh agama?

Ridhallaahu fii ridhal walidain…

Itu saja alasanku. Alasan yang semakin memperkuat alasanku, alasan orangtuaku, dan alasan teman-temanku yang keukeuh agar aku pulang.

Sambil menulis ini sebagai bentuk penjelasan pada sahabat-sahabat Himi Persis UPI, FLP Bandung dan panitia Silatda, terbersit dalam benakku sebuah pertanyaan tajam,

“akan jadi ibu seperti apa kelak kamu, Vi, apa ibu yang tidak akan pulang-pulang karena segudang aktivitasmu di luar, meski anakmu membutuhkan senyummu di setiap penggalan harinya, membutuhkan persetujuanmu untuk setiap aktivitas positifnya, membutuhkan teguranmu untuk setiap kesalahan kecilnya, membutuhkan belaianmu sebagai pelecut motivasinya, dan membutuhkan bimbinganmu dalam setiap perkembangannya? Apa sosok ibu seperti itu yang akan kau bentuk dalam dirimu sejak sekarang?

Tidak! Naudzubillahi min dzalik…

Aku hanya perlu satu detik untuk beristigfar. Dan setelah itu, pulang.


Memoar minggu lalu, 26 November 2011

2 comments:

Semangat, Via!

9:17 PM Unknown 0 Comments

Via, Allah menganugerahkanmu pengetahuan tentang ilmu jiwa, tiada lain karena Ia ingin kamu memiliki jiwa yang kuat. Tak cukuplah kau mengatahuinya saja tanpa kau manfaatkan pengetahuan itu untuk dirimu sendiri, sebelum kau mengabarkannya pada orang lain.

Allah tidak akan menetapkan suatu perkara tanpa manusia dapat mengambil ibrah dari padanya. Ingatkah Via, saat kau tersentak dengan kelulusanmu dalam seleksi SNMPTN tanpa kau mempersiapkan itu semua? Tanpa kau benar-benar berminat untuk melanjutkan studimu di jurusan ini. Mengapa Allah memilihmu dari sekian ratus peserta tes yang lain?

Tiada lain Ia ingin kamu kuat. Allah tahu kau harus menjalani semua ini dengan bekal jiwa yang kuat. Dengan psychological strength yang memadai. Lalu setelahnya, giliran jiwa-jiwa lain yang kan kau kuatkan.

Bagaimana kau bisa menjalankan amanah Allah ini jika jiwamu masih rapuh seperti ini?

Ayolah Via, kamu tahu benar bagaimana caranya kau bangkit. Lima semester kamu mempelajarinya! Lihat, matamu sudah mau bekerja sama, ia bisa menahan tetesan air yang sebenarnya ingin mengalir sejak lama. Bibirmupun –meski kaku- setidaknya mampu berusaha untuk melengkungkan setiap sudutnya ke atas, membentuk sebuah senyuman. Egomu yang begitu liar, kini mulai bisa mengalah, menahan rasa sakit, gengsi, malu, amarah, untuk sebuah kemaslahatan yang kan bermakna bagi lebih banyak jiwa. Bukan jiwamu saja. Sekarang, bujuk semangatpun untuk segera kembali, yakinkan ia bahwa Allah selalu ada di sini, mengusir setiap ragu akan ketentuan-Nya yang maha indah…

Dan minta hatimu tuk hentikan resah yang tidak memberimu dampak positif. Katakan agar ia kembali bahagia.

Duh, hati… bagaimana caraku merayumu sedangkan fitrahmu tak terkemdali…


Vi, berusahalah untuk tidak meminta orang lain memahamimu. Mereka tidak memiliki keharusan untuk bersikap empati, mendengarkan, bijak, sabar, humanis, ikhlas, respect, peduli, ramah…

Kamulah yang harus mengaplikasikan itu semua. Sekali lagi, Allah memilihmu untuk mengemban peran ini, sebagai seseorang yang kan selalu peduli, mengerti, dan men-tawar-kan perasaanmu, demi kebaikan orang lain. Karena goal gettingnya adalah kemaslahatan bersama. Percayalah, janji Allah selalu tunai.

Semangat, Via!

Setiap kebenaran ada pada-Nya, mohon petunjuk-Nya.

0 comments:

Behind the Scene "Contact Person"

9:14 PM Unknown 0 Comments


Saya sangat mencintai soulmate saya. Dialah yang selalu setia menemani hari-hari saya, suka dan suka, pahit dan manis, kami lalui bersama. Dia pulalah yang tahu benar bagaimana perjalanan hidup saya. Dia, saksi sejarah hidup saya.

Karenanya, saat ini saya ingin menuliskan sepenggal kisah penuh makna yang begitu mengajarkan saya arti kesabaran dan keikhlasan. Terimakasih yang tak terhingga untuk sang soulmate: HP Nokia 6070 keluaran tahun 2007.

Silakan komentari HP jadul yang saya gunakan di jaman yang serba canggih ini. Di saat orang lain sudah menggunakan teknologi sebagai cerminan gaya hidup mereka, saya masih setia dengan Hp butut, jadul yang fiturnya tidak lengkap ini. Bagaimanapun, sekali lagi, dia soulmate saya. (ngeles, padahal mah belum ada dana buat beli yang baru, hoho)

Dalam satu tahun terakhir, si Noki ini (nama panggilan HP saya), telah beralih fungsi dari yang tadinya digunakan sebatas untuk keperluan pribadi, sms-an ngalor ngidul dan tak puguh juntrungannya, kini bertaubat dan mewakafkan dirinya untuk ummat.

Setiap majikannya ini jadi panitia dalam suatu acara, seringkali dia jadi tumbal. (sebenarnya majikannya yang jadi tumbal), yaitu tiada lain adalah menjadi seorang “contact person

Sodara-sodara sebangsa dan setanah air, mungkin ada yang pernah mendapatkan sms promo acara, biasanya di bawahnya selalu tercantum nomor yang bisa dihubungi untuk informasi lebih lanjut. Atau di pamphlet, leaflet, spanduk, baligo, atau iklan di radio. Dalam beberapa acara, nomor yang tercantum di sana adalah nomor cantiknya si Noki. Alhasil, sms yang masuk ke hape jadul saya ini berasal dari nomor-nomor asing yang meskipun saya tidak tahu siapa pengirimnya, tetap harus saya balas, atau saya angkat telponnya dengan menunjukkan ekspresi yang seramah mungkin.

Namun karena pada dasarnya setiap individu itu unik, meski saya sudah berusaha untuk ramah, ada saja yang menanggapi dengan lempeng, jutek bahkan marah-marah pada saya. dalam hati jadi pengen nomong sendiri, “Ini sebenarnya siapa yang butuh sih?”

Contohnya waktu saya jadi panitia acara Kibar HIMI Persis. Karena kebetulan saya jadi koordinator perlombaan yang seluruhnya berjumlah 15 jenis lomba, maka saya yang jadi CP (Contac Person). Saya tahu benar apa konsekuensi yang saya harus tanggung ketika mengemban amanah ini. Pertama, saya harus benar-benar faham konsep acara dari A-Z. Kedua, saya harus selalu siap sedia kapanpun dimanapun untuk membalas sms dan telpon yang masuk. Ketiga, saya harus selalu memastikan bahwa si Noki tidak kehabisan pulsa. Keempat, saya harus siap-siap terkenal. Hehehe…

Namun selain empat poin yang sudah saya antisipasi sebelumya itu, ternyata ada poin lain yang tidak terprediksi sebelumnya, yaitu saya dimarahi peserta!

“Teh, saya dan teman-teman mau ikut lomba puisi, cerdas cermat, pidato b.inggris, pidato b.indonesia dan b.arab, sama lomba debat. Persayaratan dan ketentuannya apa aja?”
“untuk ketentuan lomba lengkapnya bisa dilihat di kibarhimipersis.wordpress.com. pendaftaran terakhir besok. Ditunggu ya… ^_^”
“saya nggak bisa ol teh, jauh ke warnetnya. Memangnya nggak bisa dismsin ya?”
“wah, kalau lwt sms nggak akan cukup 3 layar teh, hhe. Untk pidato temanya peran mhsswa sbg agent of change, puisi ada yg wajib ada yg pilihan. Puisinya sudah bisa dilihat di blog.. ”
“tolong ya, saya harap panitia bisa diajak kerjasama. Saya minta puisi dan peraturan lombanya dismskan. Terimakasih”

Dalam hati saya geram, mungkin muka saya juga terlihat kesalnya. Namun saya tidak boleh menunjukkan kekesalan saya. akhirnya saya menjawab,
“maaf Teh, puisinya sudah ditentukan, semuanya ada 1 puisi wajib dan 10 puisi pilihan, saya rasa teks puisinya tidak akan bisa dismskan, setiap lomba memiliki persyaratan yg berbeda. Untk persyaratan umumnya… bla..bla…bla…”
Akhirnya saya mengsmskan peraturan umum lomba. Dan seperti biasa, di ujung sms saya tidak boleh lupa menyisipkan symbol senyum, seolah saya memang sedang tersenyum, meski pada kenyataannya saya sedang manyun, sambil nyengir, ngomel, nangis, lalu ketawa terbahak-bahak sendirian. (lho?)

Ada yang bikin kesel, ada juga yang bikin saya cengengesan sambil geleng-geleng kepala. Pasalnya, ada salah satu peserta lomba KTI yang setelah mengirimkan makalahnya via email, si pengirim mengsms saya seperti ini,
“Teh, bisa tolong editin KTI saya? saya lupa yang bab III nya belum diedit. Yang itu tuh harusnya ada yang dibuang bagian B-nya, tarus yang bagian C diganti jadi bla..bla..bla… saya nggak sempet ngedit, lagian kata teteh terakhir dikumpulinnya kemaren. Tolong editin ya teh, KTI yang atas nama….bla..bla..bla…” Dia menyebutkan nama lengkapnya. Silakan tebak ekspresi saya ketika membaca sms itu!

Yang paling bikin kesel selama jadi CP perlombaab Kibar, adalah ketika peserta protes lewat sms karena hadiahnya tidak memuaskan.
“Setahu saya yang juara 1 itu hadiah yang dijanjikan adalah uang senilai sekian rupiah, kenapa yang saya dapatkan tidak sesuai ya?”
Padahal kami sebagai panitia, khususnya saya sebagai kordinator perlombaan merasa tidak pernah menjanjikan hadiah senilai uang sekian rupiah pada pemenang. Bahkan ketika technical meeting dengan sangat terbuka saya menjelaskan bahwa hadiahnya bukan berupa nominal uang, dengan alasan yang juga disampaikan secara terbuka.

Lain di Kibar, lain juga di acara Semerbak. Di acara ini saya jadi CP Sayembara Cerpen. Kejadian-kejadian lucu di Kibar juga terulang di sini. Peserta dengan karakter yang menuntut kesabaran seperti itu bukan hanya satu dua, tapi puluhan! Rasanya saya sudah kebal. Hihi. Yang unik di acara ini adalah adanya peserta yang mula-mulanya bertanya persyaratan lomba, lalu lanjut pada pertanyaan,
“teteh kordinatornya ya?”
“Hmm. Aktif di himi?
“kuliah di mana?”
“Jurusan apa”
“Wah hebat ya, berarti nanti di hari H kita bisa ketemu ya teh. Saya sedang ngambil S2 di *** (sensor). Oh ya namanya siapa?”

Gubrakkk!!

Itu terjadi beberapa bulan yang lalu, dan bulan-bulan ini, saya menjadi CP (lagi) pada Kuliah Kepenulisan FLP Bandung. Mungkin memang sudah sunatullah, individu itu unik dan melalui ini Allah menghendaki aku agar menjadi pribadi yang terus belajar sabar, ikhlas, ramah dan menyenangkan.

Saking ingin optimal dalam ber-ramah tamah ria, pada peserta yang tidak tahu tempat kuliah kepenulisan saya berkata,
“Teteh udah sampai mana? Sudah di salman belum?”
“Sudah. Dari kantin ke sebelah mana Teh?”
“Dari kentin ke bla..bla..bla..” saya menjelaskan rute dari kantin Salman ke gedung utsman.
“Wah saya bingung Teh sebelah mana ya? Nanya orang juga malah menyesatkan”
“Kalau begitu teteh tunggu aja deket kantin, biar saya jemput kesitu ya”
“Nggak usah Teh”
“Eh nggak apa-apa koq Teh, dari situ deket koq. Biar saya jemput saja, kasian tetehnya.”
“Saya laki-laki teh”

Lagi-lagi… GUBRAKKK!!!

Yah, begitulah sodara-sodara, di belakang berjalannya acara demi acara, selalu ada yang namanya contact person, sudah mulai terbayang kan apa saja yang dilakukan oleh seorang CP? Yang saya ceritakan di atas tidak lebih dari 25 persen saja dari keseluruhan pengalaman saya yang aneh-aneh. Asik ya! Hehe, apalagi ketika tiba saatnya acara di mulai pada hari H, para peserta biasanya mencari sesosok panitia yang selama ini berkomunikasi dengannya. Itulah dia sang contact person.


Salam manis dari Noki untuk semuanya.. ^_^


Suatu pagi,
6 Desember di kamar yang baru di-sapu.
Diiringi “11 Januari”-nya Gigi.

0 comments:

Jika Kau Bukan Jodohku

9:11 PM Unknown 0 Comments

Untukmu yang berpacaran
Katakan ini pada kekasihmu

“Jika kita bukan jodoh
Melupakanmu, kewajibanku.
Bagaimana bisa memoriku tidak melekatkan namamu
Sedang dalam setiap jejak kehidupan yang kupijaki
Ada pula jejakmu
Bagaimana bisa aku melupakanmu
Sedang dalam setiap mimpiku
Kurangkai ia tuk mewujudkannya bersamamu
Takutku tak mereda saat kubayangkan
Bukan namamu yang Tuhan sandingkan dengan namaku
Dalam catatan-Nya.
Bantu aku
Akhiri ketakutanku
Dengan ikat pertalianmu denganku
Atau tinggalkanku.”

Ups, ralat:
“atau ku kan meninggalkanmu.”

0 comments: