Ibu, Panggilan Baruku
Menjadi
ibu merupakan impian setiap wanita, saya rasa. Dan impian itu telah
saya raih untuk sementara. Mengapa saya katakan sementara? Hmm.. ya,
se-sementara saya mengasuh mereka. Dua jam saja. Dari jam delapan
hingga sepuluh pagi setiap harinya. Dua jam yang sangat saya nikmati
ketika menjadi ibu bagi bagi anak-anak saya (tepatnya murid) di sekolah.
Mungkin kedengarannya biasa
saja. Tapi tidak demikian bagi saya. Dan mungkin juga hal ini dirasakan
oleh rekan-rekan pengajar PAUD (dan semacamnya) seperti saya.
Kurang dari sebulan saya
menggeluti aktivitas itu. Maka sebagaimana saya meyakini bahwa
pengalaman baru membawa pelajaran baru, saya merasa betapa siswa-siswa
empat tahunan itu mengajari saya berbagai hal: Kesabaran, keikhlasan,
persahabatan, keuletan, serta pemahaman tentang tumbuh kembang dan
karakteristik anak pada umumnya, dan perbedaan karakter satu anak
dengan anak yang lainnya sehingga menuntut saya untuk pandai menyikapi
keunikan-keunikan tersebut.
Sebelum menceritakan “anak-anak
saya” satu persatu, terlebih dahulu saya ingin mendeskripsikan kondisi
sekolah yang baru berdiri satu tahun di kampung saya itu.
Jangan bayangkan PAUD tempat
saya “belajar” adalah sebuah sekolah atau kelompok bermain yang megah
dan luas dengan fasilitas lengkap yang menunjang perkembangan kognitif,
afektif dan psikomotorik siswa. Tidak! Sungguh jauh panggang dari api.
Bagi saya, dengan adanya warga di kampug kami yang tergerak untuk
mendirikannya saja, sudah Alhamdulillah.
Kesannya kampung banget? Tidak mengutamakan pendidikan?
Ya. Saya tidak dapat memungkiri
persepsi itu. Jelas saja, tidak akan ada semangat belajar yang tinggi
jika tujuan dari sekolah adalah hanya untuk mendapatkan selembar ijazah
sebagai bekal menjadi karyawan pabrik. Ilmu apakah yang diperlukan
untuk manjadi seorang karyawan pabrik? Jika jawabannya adalah hanya
“baca tulis”, maka memang itulah target yang ingin dicapai dari sekolah
SD sampai SMA.
Sejak saya masih duduk di
bangku TK, di kampung saya, anak yang juga mengenyam pendidikan TK
hanya satu dua. Dan keadaan itu terus berlanjut sampai saya menginjak
bangku sekolah menengah. Masih banyak orang tua yang berpikiran bahwa
tidak banyak yang bisa didapatkan dengan mendaftarkan anak-anaknya ke
TK. Maka ketika saat ini saya melihat ada warga yang terketuk hatinya
untuk mengunjungui departemen pendidikan dan mengutarakan maksudnya
untuk mendirikan PAUD di kampung kami, saya merasakan seberkas cahaya
mulai menerangi kampung kami (deu.. lebay!). setidaknya meski baru PAUD
saja, anak-anak kini memiliki tempat untuk bermain sambil belajar
dengan adanya bimbingan dari seorang guru.
Dan di PAUD inilah saya mengisi liburan panjang saya: PAUD Nurunnisa.
Pertama kali mengunjunginya,
pertanyaan pertama yang terlontar dalam benak saya adalah, apa
anak-anak merasa nyaman belajar di ruangan berukuran 2x2 meter seperti
ini?
“Jumlah muridnya baerapa, bu?” tanya saya pada Bu Nur. Satu-satunya pengajar di sana.
“Sebelas. “
Aku membayangkan sebelas anak yang mungkin kesulitan bergerak bebas dalam luas ruangan yang terbatas.
“Tahun lalu sampai dua puluh
tiga, tapi sepertinya para orang tua kurang percaya bahwa sekolah ini
bisa membimbing anak-anaknya dengan baik karena sampai sekarang gurunya
tak juga bertambah.” Lanjutnya.
Aku hanya tersentum. Kemudian
menebak-nebak alasan lain yang mungkin jadi penyebab lain berkurangnya
jumlah siswa dibandingkan dengan tahun lalu.
Wajar sebanarnya jika siswanya
masih sedikit, sekolah ini baru berdiri satu tahun. Tapi meski baru,
publikasi bisa disiasati tentu. Membuat spanduk misalnya. Cukup satu
spanduk di depan sekolah, tidak perlu memasang benner di jalan-jalan
atau iklan melalui media massa. Mengingat kapasitas PAUD Nurunnisa yang
memang masih terbatas. Terbatas dari segi fasilitas, manajemen, juga
pengajar. Ya, satu spanduk untuk mengundang calon siswa dari
tetangga-tetangga dekat yang sudah memasuki usia TK.
Ruangan sempit yang tidak
berwarna itu, dengan cukup kreatif diakali Bu Nur. Banyak pernak
pernik dari karton spot light membentuk gambar buah-buahan yang
disesuaikan dengan warna aslinya. Mainan ape dalam seperti balok,
puzzle dan bola-bola plastik sudah ada. Ape luar juga meski tidak
lengkap, tapi cukup membuat anak-anak girang bergiliran naik perosotan
atau ayunan.
O tidak, tidak semua anak. Ada
beberapa anak yang terlihat tidak mau bermain dengan teman-temannya.
Entah karena masih malu-malu, atau memang tidak berminat. Salah satunya
Tiara, gadis kecil empat tahunan dengan kulit hitam manis ini tidak
akan berkata apa-apa kalau tidak ada yang bertanya. Jawaban yang ia
lontarkan ketika saya cerewet bertanya pun, terbatas hanya pada
anggukan atau gelengan kepala saja. Ketika awal pembelajaran, setelah
membaca doa belajar dan bernyanyi, setiap saya bertanya,
“ Mau belajar atau bermain?’
Rata-rata anak menjawab ingin
bermain. Tiara hanya diam. Lalu saya menghampirinya dan betanya
khususon padanya sambil menawarkan sebuah puzzle,
“Tiara mau main ini? liat, ini kalo dipasang bisa membantuk gambar mobil lho. Mau?”
Dia menggeleng.
“Atau mau belajar?”
Aha, Tiara mengangguk!
Anak-anak memang unik. Tiara
memang belum optimal perkembangan sosialnya, dia juga terlihat kurang
lincah dan ceria. Tapi ketika disodorkan pada persoalan intelektual,
dia akan gesit menyelesaikannya. Dalam usia empat tahun Tiara sudah
bisa menulis alfabet dengan rapi, cepat dan tanpa mengeluh.
Berbeda dengan Tiara, Daffa
trelihat sebaliknya. Anak yang setiap 1 menit 1x memanggilku ini lebih
senang bermain sambil belajar. Kesukannya menyusun fuzzle. Fuzzle
menurutku bukan sekedar permainan. Bentunya memang mainan, tapi mainan
ini bisa merangsang aspek kognitif anak.
Teringat sebuah seminar yang
saya ikuti tentang jujur dalam pendidikan, salah satu hal yang harus
diperhatikan dalam membangun kejujuran dalam semua aspek pendidikan
adalah jujur dalam kurikulum. Di sini saya menangkap bahwa kurikulum
hendaknya tidak memaksakan siswa untuk mempelajari dan harus pandai
dalam suatu materi pelajaran yang diajarkan. Setiap anak memiliki bakat
yang berbeda-beda. Biarlah mereka menjadi ahli dalam bidang yang
mereka minati dan kuasai. Jangan paksakan burung untuk pandai berenang.
Jangan paksakan seorang seniman untuk menjadi dokter.
Masih tentang Daffa, hmm…
kayaknya kalo udah gede anak ini bakalan ganteng nih, (hehe.. ibu
gurunya genit!). daffa selalu enggan diajak belajar mengenal alphabet,
angka, buah-buahan, menulis, menggambar, mewarnai, ataupun bernyanyi.
Duh, sempat terpikir juga, Daffa ini sukanya apa toh? Ini nggak mau itu
nggak mau! Satu hal yang paling Daffa suka adalah bermain: menyusun
fuzzle, lari keluar untuk main perosotan, atau mengajak main
mobil-mobilan pada teman-temannya yang tengah menggambar. Ya Allah...
cepat kuputar otakku untuk mencari jalan keluar menghadapi anak yang
satu ini. Guru yang baik tidak akan men-judge siswanya nakal,
bodoh, malas, atau predikat negative lainnya. Dalam setiap kasus
pastilah ada penyebabnya yang mungkin berasal dari pengalaman masa
kecil, lingkungan atau keluarga. Jadilah saya mengkomunikasikan perihal
gaya belajar daffa pada orang tuanya.
“Daffa sudah hafal
bentuk-bentuk alphabet dan angka-angka. Di rumah, ayahnya yang
mengajarinya” Kata Ibu Daffa. Jawaban yang sama sekali tidak kusangka.
Maka kesimpulan baru yang kudapat adalah tidak selamanya anak enggan
belajar karena ia malas, bisa saja karena ia sudah jenuh dengan materi
pelajaran yang sudah ia kuasai. Di rumah, Daffa sudah rajin balajar. Di
sekolah, ketika ia menemukan mainan yang tidak ia dapatkan di rumah, ia
begitu ingin mengeksplorasinya. Pendidikan tidak terbatas dalam arti
pengajaran aspek intelektual. Dengan bermain, berlari, anak berarti
mengembangkan aspek motoriknya, juga mengembangkan aspek psikososial
dengan belajar bergaul dengan teman sebayanya.
Khawatir tulisan saya
kepanjangan (dan berhubung sudah ngantuk juga, hehe), saya akhiri dulu
saja cerita saya. Yang terpenting adalah ketika saya mengungkap apa
yang saya fahami dari suatu fenomena (beuraat..!) saya tidak berhenti
hanya dengan memahaminya saja. Harus ada follow up yang
menambah kebermaknaan pengetahuan kita. Sampai saat ini, yang mampu
saya lakukan adalah dengan menyisipkan pelajaran lewat permainan fuzzle
pada anak yang suka fuzzle, menerapkan sikap kerja sama dan saling
menghargai dalam permainan ayunan dan perosotan, mengajarkan keindahan
lewat gambar dan warna pada anak yang suka menggambar dan mewarnai, dan
lain sebagainya. Karena Allahpun mengajarkan sains, kerja sama,
menghargai, juga keindahan.
Innama al-ilmu bi at-ta’allumi.
Semoga Allah selalu memberi
kita kesempatan untuk membuktikan pada-Nya, bahwa kelak, kita akan
mampu mengemban amanah-Nya, menggemakan asma-Nya di muka bumi melalui
keturunan-keturunan kita. Aamiin!
Memory of Ramadhan
September 2011
0 comments:
Post a Comment