Ibu, Panggilan Baruku

10:32 PM Unknown 0 Comments

Menjadi ibu merupakan impian setiap wanita, saya rasa. Dan impian itu telah saya raih untuk sementara. Mengapa saya katakan sementara? Hmm.. ya, se-sementara saya mengasuh mereka. Dua jam saja. Dari jam delapan hingga sepuluh pagi setiap harinya. Dua jam yang sangat saya nikmati ketika menjadi ibu bagi bagi anak-anak saya (tepatnya murid) di sekolah.

Mungkin kedengarannya biasa saja. Tapi tidak demikian bagi saya. Dan mungkin juga hal ini dirasakan oleh rekan-rekan pengajar PAUD (dan semacamnya) seperti saya.

Kurang dari sebulan saya menggeluti aktivitas itu. Maka sebagaimana saya meyakini bahwa pengalaman baru membawa pelajaran baru, saya merasa betapa siswa-siswa empat tahunan itu mengajari saya berbagai hal: Kesabaran, keikhlasan, persahabatan, keuletan, serta pemahaman tentang tumbuh kembang dan karakteristik anak pada umumnya, dan perbedaan karakter satu anak dengan anak yang lainnya sehingga menuntut saya untuk pandai menyikapi keunikan-keunikan tersebut.

Sebelum menceritakan “anak-anak saya” satu persatu, terlebih dahulu saya ingin mendeskripsikan kondisi sekolah yang baru berdiri satu tahun di kampung saya itu.

Jangan bayangkan PAUD tempat saya “belajar” adalah sebuah sekolah atau kelompok bermain yang megah dan luas dengan fasilitas lengkap yang menunjang perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Tidak! Sungguh jauh panggang dari api. Bagi saya, dengan adanya warga di kampug kami yang tergerak untuk mendirikannya saja, sudah Alhamdulillah.

Kesannya kampung banget? Tidak mengutamakan pendidikan?

Ya. Saya tidak dapat memungkiri persepsi itu. Jelas saja, tidak akan ada semangat belajar yang tinggi jika tujuan dari sekolah adalah hanya untuk mendapatkan selembar ijazah sebagai bekal menjadi karyawan pabrik. Ilmu apakah yang diperlukan untuk manjadi seorang karyawan pabrik? Jika jawabannya adalah hanya “baca tulis”, maka memang itulah target yang ingin dicapai dari sekolah SD sampai SMA.

Sejak saya masih duduk di bangku TK, di kampung saya, anak yang juga mengenyam pendidikan TK hanya satu dua. Dan keadaan itu terus berlanjut sampai saya menginjak bangku sekolah menengah. Masih banyak orang tua yang berpikiran bahwa tidak banyak yang bisa didapatkan dengan mendaftarkan anak-anaknya ke TK. Maka ketika saat ini saya melihat ada warga yang terketuk hatinya untuk mengunjungui departemen pendidikan dan mengutarakan maksudnya untuk mendirikan PAUD di kampung kami, saya merasakan seberkas cahaya mulai menerangi kampung kami (deu.. lebay!). setidaknya meski baru PAUD saja, anak-anak kini memiliki tempat untuk bermain sambil belajar dengan adanya bimbingan dari seorang guru.

Dan di PAUD inilah saya mengisi liburan panjang saya: PAUD Nurunnisa.

Pertama kali mengunjunginya, pertanyaan pertama yang terlontar dalam benak saya adalah, apa anak-anak merasa nyaman belajar di ruangan berukuran 2x2 meter seperti ini?

“Jumlah muridnya baerapa, bu?” tanya saya pada Bu Nur. Satu-satunya pengajar di sana.
“Sebelas. “
Aku membayangkan sebelas anak yang mungkin kesulitan bergerak bebas dalam luas ruangan yang terbatas.

“Tahun lalu sampai dua puluh tiga, tapi sepertinya para orang tua kurang percaya bahwa sekolah ini bisa membimbing anak-anaknya dengan baik karena sampai sekarang gurunya tak juga bertambah.” Lanjutnya.

Aku hanya tersentum. Kemudian menebak-nebak alasan lain yang mungkin jadi penyebab lain berkurangnya jumlah siswa dibandingkan dengan tahun lalu.

Wajar sebanarnya jika siswanya masih sedikit, sekolah ini baru berdiri satu tahun. Tapi meski baru, publikasi bisa disiasati tentu. Membuat spanduk misalnya. Cukup satu spanduk di depan sekolah, tidak perlu memasang benner di jalan-jalan atau iklan melalui media massa. Mengingat kapasitas PAUD Nurunnisa yang memang masih terbatas. Terbatas dari segi fasilitas, manajemen, juga pengajar. Ya, satu spanduk untuk mengundang calon siswa dari tetangga-tetangga dekat yang sudah memasuki usia TK.

Ruangan sempit yang tidak berwarna itu, dengan cukup kreatif  diakali Bu Nur. Banyak pernak pernik dari karton spot light membentuk gambar buah-buahan yang disesuaikan dengan warna aslinya. Mainan ape dalam seperti balok, puzzle dan bola-bola plastik sudah ada. Ape luar juga meski tidak lengkap, tapi cukup membuat anak-anak girang bergiliran naik perosotan atau ayunan.

O tidak, tidak semua anak. Ada beberapa anak yang terlihat tidak mau bermain dengan teman-temannya. Entah karena masih malu-malu, atau memang tidak berminat. Salah satunya Tiara, gadis kecil empat tahunan dengan kulit hitam manis ini tidak akan berkata apa-apa kalau tidak ada yang bertanya. Jawaban yang ia lontarkan ketika saya cerewet bertanya pun, terbatas hanya pada anggukan atau gelengan kepala saja.  Ketika awal pembelajaran, setelah membaca doa belajar dan bernyanyi, setiap saya bertanya,

“ Mau belajar atau bermain?’

Rata-rata anak menjawab ingin bermain. Tiara hanya diam. Lalu saya menghampirinya dan betanya khususon padanya sambil menawarkan sebuah puzzle,
“Tiara mau main ini? liat, ini kalo dipasang bisa membantuk gambar mobil lho. Mau?”
Dia menggeleng.
“Atau mau belajar?”
Aha, Tiara mengangguk!

Anak-anak memang unik. Tiara memang belum optimal perkembangan sosialnya, dia juga terlihat kurang lincah dan ceria. Tapi ketika disodorkan pada persoalan intelektual, dia akan gesit menyelesaikannya. Dalam usia empat tahun Tiara sudah bisa menulis alfabet dengan rapi, cepat dan tanpa mengeluh.

Berbeda dengan Tiara, Daffa trelihat sebaliknya. Anak yang setiap 1 menit 1x memanggilku ini lebih senang bermain sambil belajar. Kesukannya menyusun fuzzle. Fuzzle menurutku bukan sekedar permainan. Bentunya memang mainan, tapi mainan ini bisa merangsang aspek kognitif anak.

Teringat sebuah seminar yang saya ikuti tentang jujur dalam pendidikan, salah satu hal yang harus diperhatikan dalam membangun kejujuran dalam semua aspek pendidikan adalah jujur dalam kurikulum. Di sini saya menangkap bahwa kurikulum hendaknya tidak memaksakan siswa untuk mempelajari dan harus pandai dalam suatu materi pelajaran yang diajarkan. Setiap anak memiliki bakat yang berbeda-beda. Biarlah mereka menjadi ahli dalam bidang  yang mereka minati dan kuasai. Jangan paksakan burung untuk pandai berenang. Jangan paksakan seorang seniman untuk menjadi dokter.

Masih tentang Daffa, hmm… kayaknya kalo udah gede anak ini bakalan ganteng nih, (hehe.. ibu gurunya genit!). daffa selalu enggan diajak belajar mengenal alphabet, angka, buah-buahan, menulis, menggambar, mewarnai, ataupun bernyanyi. Duh, sempat terpikir juga, Daffa ini sukanya apa toh? Ini nggak mau itu nggak mau! Satu hal yang paling Daffa suka adalah bermain: menyusun fuzzle, lari keluar untuk main perosotan, atau mengajak main mobil-mobilan pada teman-temannya yang tengah menggambar. Ya Allah... cepat kuputar otakku untuk mencari jalan keluar menghadapi anak yang satu ini. Guru yang baik tidak akan men-judge siswanya nakal, bodoh, malas, atau predikat negative lainnya. Dalam setiap kasus pastilah ada penyebabnya yang mungkin berasal dari pengalaman masa kecil, lingkungan atau keluarga. Jadilah saya mengkomunikasikan perihal gaya belajar daffa pada orang tuanya.

“Daffa sudah hafal bentuk-bentuk alphabet dan angka-angka. Di rumah, ayahnya yang mengajarinya” Kata Ibu Daffa. Jawaban yang sama sekali tidak kusangka. Maka kesimpulan baru yang kudapat adalah tidak selamanya anak enggan belajar karena ia malas, bisa saja karena ia sudah jenuh dengan materi pelajaran yang sudah ia kuasai. Di rumah, Daffa sudah rajin balajar. Di sekolah, ketika ia menemukan mainan yang tidak ia dapatkan di rumah, ia begitu ingin mengeksplorasinya. Pendidikan tidak terbatas dalam arti pengajaran aspek intelektual. Dengan bermain, berlari, anak berarti mengembangkan aspek motoriknya, juga mengembangkan aspek psikososial dengan belajar bergaul dengan teman sebayanya.

Khawatir tulisan saya kepanjangan (dan berhubung sudah ngantuk juga, hehe), saya akhiri dulu saja cerita saya. Yang terpenting adalah ketika saya mengungkap apa yang saya fahami dari suatu fenomena (beuraat..!) saya tidak berhenti hanya dengan memahaminya saja. Harus ada follow up yang menambah kebermaknaan pengetahuan kita. Sampai saat ini, yang mampu saya lakukan adalah dengan menyisipkan pelajaran lewat permainan fuzzle pada anak yang suka fuzzle, menerapkan sikap kerja sama dan saling menghargai dalam permainan ayunan dan perosotan, mengajarkan keindahan lewat gambar dan warna pada anak yang suka menggambar dan mewarnai, dan lain sebagainya. Karena Allahpun mengajarkan sains, kerja sama, menghargai, juga keindahan.

Innama al-ilmu bi at-ta’allumi.

Semoga Allah selalu memberi kita kesempatan untuk membuktikan pada-Nya, bahwa kelak, kita akan mampu mengemban amanah-Nya, menggemakan asma-Nya di muka bumi melalui keturunan-keturunan kita. Aamiin!





Memory of Ramadhan
September 2011

0 comments: