Kenapa Begini, Agna?!

1:39 AM Unknown 0 Comments


Kamar ini nampaknya sudah tak berbentuk, seperti kapal pecah! Seolah tanpa salah piring-piring kotor bertumpuk di sudut ruangan, minyaknya bau amis, masih ada sisa tulang ikan yang entah bekas makan kapan, gelas gelaspun tak kalah banyak menambah kesan jorok penghuninya, bungkus mie instan, kulit kacang, plastik kerupuk, duh! Semuanya lengkap terkumpul di sudut kanan sehingga bisa langsung tertangkap oleh pandangan siapapun yang baru datang.
Di sudut kirinya kasur busa tanpa alas tergeletak begitu saja tak beraturan. Posisinya miring tanpa sengaja, tanpa seprai. Mencerminkan ketidakpedulian pemiliknya.  Selimut jangan ditanya, karena sudah pasti tak sempat dilipat, bantal dan guling saja tak berada pada tempat seharusnya, berantakan. Benar-benar berantakan!
Oh, tak cukup di situ saja, banyak pakaian yang tertumpuk di tengah ruangan, entah itu pakaian kotor atau pakaian yang baru diangkat dari jemuran tapi belum dilipat dan disetrika. Ditambah buku-buku berserakan hampir di setiap penjuru ruangan.
Sekarang mataku tertuju pada lantai yang sedari tadi kuinjak, kalau saja tak memakai sandal, pasti sudah terasa seberapa kotornya. Entah sudah berapa minggu keramik putih ini tak tersentuh sapu dan kain lap pel. Begitupun dengan kaca jendela, amat buram. Bahkan kaca cerminpun yang seharusnya lebih diperhatikan karena itu amat menyangkut keperluannya sebagai seorang perempuan yang senang berdadan, sama sekali tak layak pakai. Atau lebih tepatnya baru bisa dipakai setelah dibersihkan dengan sabun, air, lap basah, lap kering, air panas, sabun lagi, lap lagi, lalu lem di tengah-tengahnya yang sudah pecah. Jika dihitung-hitung lebih mahal plus super ribet membersihkan daripada membeli cermin yang baru.
Sekarang coba kita lirik ke bagian langit-langit, lampu neon yang entah berapa watt itu dikelilingi sarang laba-laba!
Ya Tuhan… ini kamar gadis atau rumah hantu?!
“Kakak!”
Suara cempreng dari arah belakang mengalihkan perhatianku. Si pemilik suara mempercepat langkahnya lalu memelukku dengan sumringah.
“Mau ke sini koq gak bilang-bilang dulu, kan aku bisa jemput.” Ucapnya sambil cipika-cipiki pipiku kanan dan kiri.
“Hm, kamu bau asem!”
“Iya gitu?” Gadis delapan belas tahun itu menciumi aroma ketiaknya.
“Hehe iya, aku belum mandi.”
“Ya ampun Agna, kamu kuliah nggak mandi dulu? Pake baju kayak gini pula. Model apaan ini?”
Aku memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambutnya di kuncir kuda dengan poni tak beraturan, telinga tanpa anting, di lehernya tergantung kalung dengan tali berwarna hitam dan liontin menyerupai koin ukuran seratus rupiah warna putih, kaos oblong warna hitam, blue jeans belel yang lututnya sudah robek (atau sengaja dirobek?) dan sepatu kets tanpa kaos kaki. Ya ampun, bahkan di kantong celananya ada rantai yang tersambung ke sabuk. Dan itu…
“Apa itu?’ aku menunjuk kain di lengannya.
“Ini namanya deker, Kakak. Gak gaul banget sih!”
Aku tahu itu deker. Gelang kain dengan bahan yang cukup tebal dan dipasang di pergelangan tangan, simbol yang menunjukkan citra pemakainya sebagai anak gaul. Ya, aku tahu semua benda itu, benda yang biasa dipakai oleh anak-anak berandalan depan gang rumah kami di Sukabumi. Dan aku tidak menyangka saat ini benda-benda itu digunakan oleh Agna, adik bungsuku yang baru kuliah semester satu, anak kesayangan keluarga, siswa teladan sejak SMA namun super manja, yang hobi shopping, hobi nonton, hobi dandan… tapi kini mendadak brutal! Terbukti dengan melihat ketidak teraturan kamar dan caranya berpenampilan. Ada apa ini, Agna?
###
“Kak, saya lihat Neng Agna di Bandung kemarin.” Kata Kang Nurdin, pemuda karang taruna di desa kami.
“Oh iya… si Agna kan kuliah di UPI sekarang, Kang.”
“Saya juga tahu, Kak. Ini mah saya liat Neng Agna ngamen di damri.”
Keningku berkerut. Lalu ingat jaman kuliah dulu pernah juga ngamen bareng rombongan, buat menutupi anggaran pentas yang belum tertutupi dengan tiket peserta. Aku dulu anak teater kampus. Aku tersenyum. Lalu menceritakan pengalamanku masa kuliah itu pada Kang Nurdin.
“Saya liat Neng Agna sendirian koq, Kak. bajunya juga beda dari biasanya. Kirain teh bukan Neng Agna, pangling banget!”
Tak lantas percaya begitu saja, tapi jadi kepikiran juga. apa benar Agna ngamen? Untuk apa? Apa uang jajan yang kami beri selama ini kurang? Rasanya tidak mungkin. Penghasilan keluarga kami sebagai pemilik pabrik batako selalu cukup untuk menguliahkan anak-anak Bapak. Dulu, aku dan A Imran yag kuliah, soal keuangan tidak terlalu jadi masalah. Apalagi sekarang, tinggal Agna yang kuliah, tambah lagi aku dan A Imran yang sama-sama sudah bekerja dan belum berkeluarga bisa turut membantu jika ada masalah. Ah, besok aku harus ke Bandung!
###
“Iya Kak, anak yang ngemen itu terus aja nimbrungin kita yang lagi ngobrol, pemikirannya dewasa, pas kita ngomongin uang SPP yang terus-terusan naik, dia juga nyeritain gara-gara gak bisa beli seragam dia putus sekolah. Sampai akhirnya dia memutuskan, biarlah dia nggak sekolah, tapi bisa berguna buat keluarga, bisa ikut nyari uang.”
“Hmmm…” Aku menanggapi cerita Agna dengan komentar minimal.
“Berarti itu pertama kalinya kamu naik kereta ya Na? kereta ekonomi, lagi.”
“Yo’i. pertama dan sangat mengesankan. Ya salah satunya tentang anak yang ngamen itu.”
“Dan alasan itulah yang buat kamu ikut-ikutan ngamen. Iya?”
“Lho, Kakak udah tau kalo aku ngamen?” tampaknya dia cukup kaget. Setelah itu kembali menunjukkan ekspresi wajah tanpa dosa.
“Kamu beneran ngamen?”
“Iya aku ngamen, hebat kan ka? aku nggak gengsi lho… “
Hebat?
“Kenapa harus ngamen sih Na? kamu disekolahin jauh-jauh ke Bandung itu biar belajar yang bener, persiapkan ilmu sebanyak-banyaknya buat bekal masa depan.”
Keningnya berkerut, matanya meminta penjelasan.
“Aku pikir Kakak bakalan bangga, aku nggak jadi anak manja lagi.”
“Kamu pikir Kakak bangga, kamu jadi lebih mirip berandalan dari pada calon guru. Kamu itu mahasiswa UPI na! Kakak yakin sekarang kuliah kamu terbengkalai, berteman sama preman-preman, sampai-sampai nggak sempet belajar, ngurus diri, beresin kamar. Kenapa begini sih, Na? kalau Ibu tahu…”
“Kakak jangan ngasih tahu dulu Ibu, nanti aku yang akan bilang, aku yakin Ibu pasti ngerti. Lagian aku nggak sepenuhnya kayak yang Kakak bilang, aku cuman nggak sempet beres-beres karena pulang kuliah kan mesti langsung ke jalan. Aku suka belajar koq, beneran. Terus ini…” Agna menunjuk pakaian yang dikenakannya.
“Masa iya ngamen pake kemeja, emang ngelamar kerja” dia merengut, tidak dapat menyembunyikan watak manjanya.
Selain karena rayuan Agna, aku juga memang tidak mau Ibu syok dengan berita ini. Aku memutuskan menyimpan kabar ini sendiri saja, sambil membujuk Agna untuk menghentikan aktivitas konyolnya.
###
 “Put, aneh geura. Masa si Agna ngirim surat. Segitu udah jaman internet, email atuh ya… nelpon biasanya juga”
Agna nulis surat?
“Mana A? Sini Putri dulu aja yang baca” aku mengambil amplop di tangan A Imran.
“Apa itu mah bukan… tuh surat mah di Ibu”
Aku panik. Jangan-jangan Agna cerita kalo di Bandung dia ngamen. Duh!
“Ibu, surat dari Agna mana? Putri aja ya yang bacain.”
Ibu menyerahkan selembar kertas bertuliskan bolpoin warna hitam. Tulisan tangan Agna.
Aku bersyukur, dengan membacakan surat itu, aku bisa memanipulasi isinya. Setidaknya aku tidak perlu membacakan bagian pengakuan Agna tentang aktivitasnya selain kuliah, yang pasti membuat kami sekeluarga, terutama Ibu, mendadak pingsan.
Berdebar aku membaca pendahuluannya,
Bismillah…
Assalamualaikum Ibu, Bapak, A Imran, Kak Putri…
Maaf sebelumnya jika….
Aku berhenti membacakan surat itu. Aku sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan Agna. Ibu, Bapak dan A Imran menungguku melanjutkan membacanya. Tapi tidak, aku lebih memili untuk membacanya sendiri dulu di dalam hati…
“Cepet atuh Put ah, sini aa aja yang baca”
“Iya Put, kenapa kamu teh? Cepet lanjutin!”
Aku melanjutkannya, dalam hati.
Ibu, Bapak, A Imran, Kak Putri, maaf sebelumnya jika surat ini membuat kalian bingung, sedih atau marah. Sungguh… Agna nggak nyangka akan begini akhirnya. Tinggal di kota membuat Agna tidak bisa menjaga diri. Agna tergoda untuk minum minuman keras, pacar Agna yang menawarkan. Agna tidak bisa menolak karena Agna sangat mencintainya. Maka dari itu ketika dia minta Agna untuk making love pun Agna tidak bisa menolaknya. Tapi setelah itu Agna begitu menyesal karena Agna tahu dia juga melakukannya dengan wanita lain. Agna tidak terima, jadi Agna memutuskan untuk balas dendam dengan melakukannya juga teman pria Agna yang lain. Dan sekarang… maaf Ibu, ayah, A Imran, Kak Putri, Agna tahu Agna tidak tahu diri, Agna sangat berharap kalian masih bisa menerima Agna di tengah-tengah kalian, Agna tidak tahu lagi harus ke mana, Agna hamil Ibu… Agna juga positif HIV AIDS….
Aku tidak bisa melanjutkannya lagi. Kepalaku begitu berat, berat sekali, seperti menahan beban berton-ton, menjadikanku begitu lemas, dan semuanya tampak gelap.
Tapi telingaku masih bisa mendengar dengan jelas, keluargaku tampak bertanya-tanya. Ibu menangis memanggil-manggil namaku, dan A Imran membacakan surat Agna dari awal.
………… Agna sangat berharap kalian masih bisa menerima Agna di tengah-tengah kalian, Agna tidak tahu lagi harus ke mana, Agna hamil Ibu… Agna juga positif HIV AIDS….
Ibu histeris, Bapak dan A Imran menenangkan.
Tapi…
“Ada tapinya, ada terusannya, Ibu, kita lanjutkan dulu. Dengar, Bapak dan Ibu harus dengar!”
Setelah itu A Imran membacakannya dengan lebih keras.
Tapi semua itu bohong koq, keluargaku tersayang… Agna di Bandung baik-baik saja. Agna tidak akan pernah mengecewakan kalian. IP Agna kemaren 3,67 lho! Itu angka terbesar di kelas Agna. Agna sekarang juga belajar mandiri, Agna ingin merasakan sulitnya Bapak mencari uang. Agna ngamen selepas kuliah… tapi itu nggak akan selamanya koq Kak Putri… jangan ngomelin Agna lagi ya! Sekarang Agna gabung sama lembaga pengajar privat, sambil nunggu ada siswa yang berminat, Agna mohon ke Ibu, Bapak, A Imran dan Kak Putri untuk mengijinkan Agna tetap ngamen. Cuman ngamen koq… itu kan bukan apa-apa dibanding Agna tetap jadi anak manja, kerjaannya shopping, pacaran, hamil, sampai aids… ya Ibu ya… plisssss!
“Alhamdulillah… “ Rasa syukur itu diucapkan serempak oleh Bapak, Ibu dan Aa dengan nada yang berbeda.
“Put… Putri… bangun Put, Agna nggak kenapa-napa!”

0 comments: