Pesantren I'm in Love

12:54 AM Unknown 0 Comments


Aku rasa melalui jalan inilah hidayah dikirimkan untuknya. Saat itu, layaknya sekuntum bunga ia sedang mekar-mekarnya, ia berada pada puncak pubertas yang dialaminya. Bisa dibilang sedang sweet-sweetnya, apalagi tahun ini usianya menginjak sweet seventeen.
          Sebagaimana remaja lainnya, remaja putri ini, sebut saja dia Nasha, merasakan ’virus merah jambu’ yang semakin hari semakin membuncah.
”Inikah cinta itu, Ry?”
Oh gosh! Andai kau tahu semengembang apa senyumnya saat ia ungkapkan perasaannya itu. Matanya berbinar, pipinya memerah dan telapak tangannya ia letakkan di dadanya yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Ini adalah pertama kalinya sepanjang sejarah ia jatuh cinta!
”Hal apa yang membuatmu tertarik padanya?”
pertanyaan itu tidak sempat kulontarkan. Dan tanpa kutanyapun,  ia akan begitu lincah bercerita padaku.
$$$
Nasha, begitu orang memanggilnya. Begitu  teman satu angkatan, kakak kelas, adik kelas, dan semua Ustadz di pesantren kami memanggilnya. (Oh ya, kami tinggal di tempat suci berjeruji bernama pesantren!).
Betapa tidak, ia seorang santri yang enerjik, aktif, ceria dan juga cerdas. Hingga segudang aktivitasnya berorganisasi dan mengkaji pelajaran telah menyulapnya menjadi seorang gadis remaja yang mengenyampingkan urusan cinta.
Lantas, hal apa kini yang membuatnya begitu ’peduli’ dengan penyakit hati semacam ini?
”Dia membuatku merasa istimewa.” Ungkapnya suatu hari.
Tapi bukankah setiap orang di sekelilingnyapun begitu menganggapnya istimewa karena kecerdasaannya?
Tapi aku fahami itu, bagaimana tidak, kurasa setiap orang akan merasakan hal yang sama jika namanya diukir sedemikian rupa dengan ukuran yang cukup besar di Galery Sekolah. Ralat! Bukan Sekolah Menengah Umum biasa tapi Pesantren! Tempat dimana kejadian seperti itu tidak lazim ditemukan.
$$$
”Nas, kamu dapat salam lagi tuh!
Kak Rifa, kakak kelas Nasha, untuk kesekian kalinya menyampaikan titipan salam itu.
Sebenernya dari siapa sih Kak? Tega banget berbulan-bulan bikin aku penasaran gini.”
”Aduh... maaf banget Nas, bukannya nggak mau ngasih tau, tapi yang nitipin salamnya belom ngizinin...”
Ya, berbulan-bulan dan entah berapa jumlah salam yang diterimanya dari ’orang misterius’ itu.
Hingga suatu hari...
”Nas, mau tau nggak siapa orang misterius itu?”
Akhirnya!
“Iya, siapa sih kak?”
”Tapi kamu janji dulu, bersikap seperti biasa sama dia seolah-olah kamu nggak tau dia naksir kamu”
”?”
Soalnya sampai sekarang dia belom ngijinin kakak buat ngasih tau ini ke kamu.” Kali ini sambil berbisik.
”Masih partner organisai kamu koq.” Sambungnya.
Partner cowok nasha di organisasi cuman tiga, berarti antara dindin, heru dan...
“Mumtaz!” Seru Kak Rifa.
Hah? Nggak mungkin! Fikir Nasha.
“Kayaknya nggak mungkin  deh kak!”
Nggak nyangka ya?” Senyum dan kerlingan mata Kak Rifa jahil, kemudian berlalu begitu saja.
$$$
 “Masa sih Nas, Mumtaz kan alim banget...” komentar sahabat-sahabat Nasha yang lain.
“Jalannya aja nunduk!”
Kerjaannya di Mesjid mulu
”Tapi... He is so handsome!”
“Pinter lagi!”
“Eh-eh satu lagi,… dia kan Tim Nasyid Pesantren kita.”
Sedangkan aku hanya diam. Nasha semakin berfikir bahwa yang dikatakan kakak kelasnya yang sekaligus teman diskusi Mumtaz itu, adalah tidak benar.
“Aku jadi curiga deh Nas, jangan-jangan Kak Rifa tuh cuman bo-ong, dia cuman pengen ngejodo-jodoin kamu ma temennya yang alim banget itu biar nggak ngejomlo terus”. Salah satu dari mereka mengungkapkan pendapatnya.
Jangan suudzon dulu!
Nasha jadi semakin yakin bahwa itu semua hanya rekayasa. Lantas rasa penasarannya mendorong ia untuk menyusun suatu rencana.
“Aduh swear deh, cowok yang satu ini bikin aku penasaran banget... kalian mau bantuin aku kan?”
Ragu, tapi akhirnya semua mengangguk.
“Ok, jadi setiap kita jalan bareng dan kebetulan ada Mumtaz, tugas kalian liat ke arah dia. Mata-matain gitu... kita cari tau sebenernnya diem-diem dia suka ngeliatin aku apa enggak. Kalo iya, berarti dia emang naksir aku.”
Serentak sahabat-sahabatnya meledek ber-huhu kompak.
”Tapi kalo enggak, ya, kita tahu sendiri jawabannya”.
Beberapa pekan lamanya rencana itu berjalan lancar tapi tidak sekalipun mereka memergoki mumtaz sedang CCP alias Curi Curi Pandang pada Nasha, sampai akhirnya kegiatan usil itu dihentikan dan Nasha benar-benar tidak memedulikan hal itu lagi.
Tapi ukiran namanya di Galery itu membuatnya menjadi percaya. Siapa lagi coba yang bisa bikin karya sebagus itu selain tangan kreatifnya Mumtaz ?
Ditambah lagi dengan pembenaran beberapa ”saksi”.
”Mumtaz waktu bikinnya semangat banget lho! Yang lainnya mengiyakan. Jadi semua itu bener? Mumtaz?
$$$
Entah dari mana awalnya, mereka menjadi dekat. Ya, Nasha dan Mumtaz. Tapi aku tahu mereka tidak pernah membahas persoalan hati mereka. Tidak ada yang berani memulai mengungkapkan perasaannya masing-masing, meski aku juga yakin, tanpa ada bahasa yang mengisyaratkan kata cinta, dua insan itu tahu benar virus cinta ada diantara mereka.
Pernah suatu hari Nasha bercerita padaku dengan ekspresi yang meluap-luap.
”Aku bingung banget deh sama mumtaz, katanya cinta itu buta  dan menyebabkan orang yang merasakannya ikut buta. Buta mata, buta hati bahkan buta agama. Terus apa maksudnya coba dia berani pedekate gitu ma aku?”
Nasha bingung. Seseorang yang alim seperti Mumtaz semakin hari malah semakin ‘berani’. Diawali dengan keberanianya menelfon ke asrama putri. Mengobrol dengan ‘pujaan hati’nya sekedar untuk menanyakan kabar. Semakin sering mengirim salam dan bertukar surat (maklum, di pesantren tidak dibenarkan membawa handphone!) ‘merah jambu’ berbahasa Arab.
Sebenarnya banyak hal positif yang mereka perbuat dengan terjalinnya hubungan itu. Dari mulai diskusi keilmuan, keagamaan, bertukar buku, saling tukar surat berbahasa Arab agar kosakata Arab mereka bertambah, dan saling support hingga prestasi mereka semakin meningkat.
Nasha jadi lebih alim karena Mumtaz. Selera musiknya mulai berubah dari Pop-rock menjadi Nasyid, Nasha juga mulai membaca buku-buku Islam. Meminjam buku-buku itu kesana kemari untuk menambah pengetahuan.
“Ternyata cinta memang indah ya Ry?”
Of course! Karena sisi indahnya itu yang sedang menghampirimu. Tapi bukankah kau bertekad untuk tidak pacaran sebelum lulus SMA?
“Banyak yang nyangka aku dan Mumtaz pacaran, Ry. Padahal nyerempet-nyerempet ke pembahasan itu aja kita nggak pernah.”
$$$
Tanpa Nasha sadari, perubahan-perubahannya ke arah yang baik itu semakin lama semakin tak nampak lagi.
Yang terjadi adalah sebaliknya, ia jadi sering ditegur guru-guru karena ketahuan konsentrasinya terbagi saat jam belajar, nilai-nilainya menurun, jadi lebih sering menulis puisi dan surat untuk Mumtaz dibandingkan dengan belajar dan mengkaji Al-Quran, dan berbagai regress lainnya dalam aspek ibadah dan pendidikan.
Koq aku jadi gini ya ry, dulu aku nggak mau pacaran dulu karena takut ganggu konsentrasi belajar. Sekarang, meskipun nggak pacaran tapi tetep aja perhatian aku kebagi kemana-mana.”
Karena kalian sudah seperti pacaran Nasha! Meskipun tidak seperti gaya berpacaran mereka yang bukan santri! Ingat ucapan Mumtaz diawal kedekatan kalian? Cinta itu buta dan dapat membutakan orang yang merasakannya...
$$$
Di asrama putra, sekumpulan santri putra semakin kehilangan sahabat mereka, Mumtaz, yang pada akhirnya Nasha ketahui bahwa perubahan ’kekasih’nya itu lebih drastis dari perubahan yang  dialaminya.
Dimulai dari gaya berpakaian. Setelah sekitar enam bulan kedekatan mereka, Mumtaz sudah tidak terlihat mengenakan baju Koko atau kemeja lagi.
Dengan memakai kaos oblong lengkap dengan jaket dan celana jeans, ia jadi objek yang hangat untuk diperbincangkan.
Apakah penyebabnya? Topik itu yang paling hangat dan menarik.
Nasha. Nama itu seolah jadi jawaban yang telah disepakati semua orang. Jawaban itu juga yang membuat Nasha tak kuasa menahan air mata. Tapi orang-orang yang membicarakan mereka bukanlah sekedar menuduh tanpa bukti, bukan juga hanya menyampaikan kabar burung yang tidak jelas asal-usulnya.
Hampir di setiap akhir pekan mereka melihat pasangan santri putra dan santri putri itu berbincang-bincang di ruang panggil yang sebenarnya disediakan untuk keperluan organisasi, atau sekedar bertegur sapa dan saling melayangkan senyuman manis jika berpapasan di jalan ketika hendak masuk kelas, dengan isyarat mata yang berbeda.
Perubahan lainnya yang terjadi pada Mumtaz adalah ia jadi supel dan ramah pada santri putri, entah ini positif atau negatif. Tapi yang negatifnya adalah ia bukan lagi ikhwan yang mengaplikasikan konsep Gudhul Bashar!
“Aku tidak sedikitpun memintanya untuk berubah, Ry”.
Sesal Nasha dalam isaknya. Mungkin Mumtaz mencoba mengimbangimu Nas, atau mungkin begitulah tandanya seseorang yang sedang dimabuk cinta!
Kadar keimanan seorang muslim memang yazidu wa yanqusu, kadang bertambah dan adakalanya juga berkurang. Jika yanqusu itu yang sedang terjadi pada Mumtaz, hal itu tidak sepatutnya digembar-gemborkan karena bukankah Mumtaz juga manusia?
Oh, tentu bukan masalah manusia atau bukan yang jadi alasannya. Yang lebih jelas adalah karena Rasulpun telah memberikan uswah untuk tidak mencari dan membicarakan aib atau cacat orang lain karena bisa jadi cacat si pembicara lebih banyak dan tidak disadarinya.
“Apa ini memang salah aku ya Ry? Semua orang bilang aku yang membuat Mumtaz berubah.”
Saat itu malam telah larut, Nasha menceritakan semuanya padaku.
”Aku sadar hubungan kami sudah seperti orang pacaran, padahal sebenernya aku tau itu salah, aku pernah baca buku Mengapa Harus Pacaran dan disana dijelaskan bahwa pacaran itu...”
kembali air mata mengakhiri curhat-nya.
$$$
Ketika malam itu tinggal sepertiganya, ia mengambil air wudhu untuk kemudian menunaikan sebelas rakaatnya, ritual yang telah lama ia abaikan.
Di waktu-waktu senggangnya, Nasha membaca lagi buku yang kemarin ia sebutkan. Yang aku tahu iapun jadi lebih sering membaca buku-buku Islam yang lainnya lagi.
Mantap.
Dengan senyuman yang masih agak dipaksakan memang, Nasha memutuskan untuk tidak melanjutkan ’hubungan dengan simbol hati itu’.
Lalu apa reaksi Mumtaz?
Dia tidak siap, tidak menerima, dan berbaris-baris kata penolakan lainnya. Ketika Nasha menyapa untuk tetap menjaga silaturahmi, Mumtaz berpaling dan mengucapkan kata-kata aneh, ekstrim dan tidak biasa dia ucapkan.
Setetes lagi air yang jatuh dari mata gadis remaja itu.
”Aku bukan sakit hati dengan kata-kata itu itu Ry, aku hanya semakin yakin bahwa akulah yang menyebabkan kata-kata itu keluar. Aku sedih.”
Aku mengerti, Nas...
Dan aku tahu, butuh kebesaran hati untuk mengambil keputusan seperti itu, meninggalkan suatu cinta untuk cinta yang lain, Yang lebih tinggi. Meninggalkan cinta yang sebelumnya amat berharga untuknya. Aku begitu tahu semua puisi yang pernah ditulis Nasha untuk Mumtaz. Perasaan yang terlanjur mendalam terisyaratkan disana.
”Aku akan meminjamkan buku-buku yang pernah kubaca Ry, agar dia juga menyadari apa yang baru kusadari”.
Katanya beberapa hari kemudian. Air mukanya masih mendung. Tapi sepertinya ia berusaha untuk tegar.  Demi cinta yang lebih besar itu.
Andai aku bisa, ingin aku merangkulnya atau sekedar menepuk pundaknya. Membesarkan hatinya. Tapi apa yang bisa dilakukan beberapa lembar kertas Diary sepertiku?
Sebelum aku menyesali hal itu, aku bersyukur karena untuk kemudian Nasha tersenyum
”Oh ya Ry, sekarang aku bukan cuma nggak akan pacaran dulu sebelum lulus SMA, tapi aku nggak akan pacaran dulu sebelum nikah!”
Inginnya aku ikut tersenyum.




0 comments: