Khitbah: Tidak Mengubah Apa-apa
Banyak literatur
yang berbicara mengenai khitbah atau pinangan. Kita bisa menemukan referensi
yang cukup mengenai itu, mulai dari definisi, larangan dalam mengkhitbah,
syarat mengkhitbah, dan konsep-konsep lainnya yang secara tuntas dikupas
lengkap dengan dalil-dalilnya.
Karenanya,bukan
konsep umum itu yang hendak saya paparkan. Semuanya sudah jelas, Khitbah adalah
kegiatan bertanya yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
mengenai kesedian si perempuan untuk menikah dengannya, atau sebaliknya. Adapun
mengenai tata caranya, dalam syariat Islam sendiri simpel saja sebenarnya,
hanya saja menjadi berkurang kesimpelannya ketika kita berbicara menggunakan
konteks budaya. Sunda khususnya. Baiklah, mengenai hal inipun tidak akan saya
bahas lebih lanjut pada kesempatan kali ini. Semoga bisa kita perbincangkan
pada kesempatan lain.
Tujuan
saya menulis ini adalah untuk menegaskan bahwa khitbah tidaklah mengubah
apa-apa. Kecuali khitbah seharusnya menyadarkan kita betapa persiapan kita
haruslah lebih ekstra dalam menghadapi terucapanya janji mitsaqan ghalidzo. Dalam menghadapi tersempurnakannya separuh agama
kita.
Sungguh,
khitbah tidaklah mengubah apa-apa. Hal ini tentu sangat difahami oleh para ikhwan-akhwat, perempuan – laki-laki, cewek – cowok (atau apapun sebutannya)
yang tidak menggeluti aktivitas pacaran. Khitbah bukanlah setengah pernikahan,
pertanyaan yang dilontarkan pihak laki-laki bukanlah kalimat ijab qabul yang
menghalalkan seorang laki-laki dan perempuan untuk berpegangan tangan dan
sebagainya. Anggukan kepala atau senyuman pertanda jawaban “Ya” dari pihak
perempuan, bukanlah sebuah mantra ajaib yang membolehkan keduanya menjadi
sering bertemu untuk mengekspresikan perasaan dan mencurahkan perhatian satu
sama lain. Dan janji akan menikah di kemuadian hari tidak lantas menjadikan keduanya
merasa telah saling memiliki.
Bagi
seorang perempuan, secara psikologis khitbah memunculkan suatu ketenangan dalam
diri. Setidaknya telah ada kepastian bahwa seorang laki-laki yang mendatanginya
adalah memang memiliki niat baik dan sungguh-sungguh akan menikahinya.
Dan
bagi seorang laki-laki, khitbah menjadi motivasi tersendiri layaknya jam alarm
yang akan mengingatkannya untuk bangun dari mimpi, menata hari ini dan
membangun masa depan. Mempersiapkan diri untuk menjemput perempuan yang telah
dipinangnya.
Persiapan
diri seperti ini juga berlaku bagi perempuan. Seorang perempuan yang telah
dipinang hendaknya berkaca diri mengenai apa-apa yang belum dan seharusnya ia
kuasai sebagai seorang istri. Memasak misalkan. Mengelola keuangan, membaca
buku-buku tentang kehidupan berkeluarga, kehamilan, pendidikan anak, berkenalan
lebih jauh dengan calon pasangan, dengan keluarga calon pasangan, mengelola
emosi, melebur ego, memahami kelemahan calon pasangan, segala sesuatu yang membuatnya
senang, yang membuatnya marah, mengungkapkan mimpi-mimpi masing-masing, kendala
masing-masing, visi misi dalam berkeluarga, dan lain sebagainya mulai persiapan
psikologis, biologis, budaya, sampai finansial.
Satu
hal yang perlu diperhatikan, perbincangan mengenai persiapan pernikahanpun
tidak lantas membuat keduanya menjadikan itu semua alasan untuk dapat
benbincang dengan leluasa. Selama ijab qabul belum terucapkan, batasan itu
masih ada. Masih tebal.
Dan disinilah
tantangannya. Meski khitbah adalah suatu kegiatan yang positif, namun keadaan
setelah khitbah adalah tantangan tersendiri bagi kedua calon pasangan. Membaca
buku-buku peenikahan dengan niat mempersiapkan diri, tidak jarang malah
menambah keinginan untuk mentergesai terlaksananya pernikahan. Perbincangan
mengenai persiapan pernikahanpun terkadang adalah pintu setan untuk keduanya
saling beradu pandang. Dan masa penantian adalah ujian tersendiri yang harus
dipastikan diisi dengan kegiatan meningakatkan kualitas pribadi.
Karenanya,
sekali lagi, khitbah tidaklah mengubah apa-apa. Kecuali ia seharusnya
menyadarkan betapa persiapan kita haruslah lebih ekstra dalam menghadapi sebuah
hari yang dinantikan: Pernikahan.
0 comments:
Post a Comment