Saya Ingin Cepat Lulus! Kamu?

9:15 PM Unknown 2 Comments


Hari terlalu gelap saat itu untuk seorang gadis pulang dengan menjajaki satu angkutan umum ke angkutan umum lainnya. Sebenarnya ini bukan kali pertama si gadis pulang larut sendiri menempuh lama perjalanan sekitar 3 jam (kalau macet). Tapi dibarengi hujan lebat yang mengguyur tanpa henti, sehingga langit senja yang terlihat lebih gelap dari biasanya, membuat si gadis yang tiada lain adalah saya sendiri, merasa ngeri.
Pukul  7 sore (atau malam) saya baru sampai di terminal leuwi panjang. Untuk meminimalisir rasa takut yang bisa saya lakukan hanyalah berjalan dengan lebih cepat. Yap! secepat laju detak jantung melihat lalu lalang orang yang mewarnai ramainya terminal serta ketidakramahan yang melengkapinya.
Alhamdulillah angkutan umum jurusan garut saat itu tidak terlalu sulit saya dapatkan, sampai akhirnya saya duduk di samping pak kusir, eh pak sopir. Senyuman pak sopir tatkala saya masuk sedikitnya menurunkan frekwensi ketegangan saya. Setidaknya senyuman yang nampaknya tulus itu meyakinkan saya bahwa si pak sopir bukan orang jahat (hoh.hoh lebaynya kumat).
Berawal dari basa-basi “dari mana-mau kemana”, mengalirlah cerita dari mulut pak sopir sambil mngemudikan elf-nya. Cerita tentang sulitnya mendapatkan penumpang, tentang orang-orang berniat buruk yang biasanya memakai kaca mata hitam sehingga menghimbau saya untuk lebih hati-hati, tentang kecemasannya pada saya yang pulang sendirian larut malam, sampai tentang anak perempuannya yang telah dewasa dan kini berprofesi sebagai dokter. Bayangkan, dokter!
“Neng kenapa gak ngambil jurusan kedokteran aja? Kan nanti gajinya besar” katanya, tapi dengan bahasa sunda.
“Ya… gajinya besar karena memang sesuai  dengan biaya studinya, pak” jawab saya. Juga dengan bahasa sunda, sambil sesekali tersenyum.
“Selain itu saya memang lebih tertarik untuk menjadi pendidik.” Lanjut saya.
“Iya, biayanya besar neng. Sampai-sampai sawah bapak habis dijual semua.”
Pernyataan itu menarik perhatian saya. Pernyataan itu sudah sering saya dengar dari para orang tua yang menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, bahkan tak jarang juga saya mendengarnya dari orang tua yang menyekolahkan anaknya sampai sekolah menengah saja tapi sama harus menggadaikan atau menjual ini-itu untuk menutupi uang SPP, buku, ongkos, serta bekalnya.
Dan supir yang kini duduk di samping saya adalah seorang bapak yang harus bekerja membanting tulang sehari 24 jam untuk membiayai anaknya yang kuliah kedokteran, harus mengorbankan seluruh tenaga, harta benda, pikiran, bahkan mungkin nyawa. Untuk putra tercinta.
Begitu lancarnya cerita itu mengalir. Cerita yang mengisahkan beratnya perjuangan orang tua, pusingnya jika hampir tiba tempo untuk membayar SPP, bingungnya mendengar keluhan anak tentang buku-buku yang harus dibeli, praktikum ini, praktikum itu, sampai pada uang bulanan yang seringkali telah habis dalam waktu 2 minggu.  
Gurat-gurat itu begitu terlihat, teman. Gurat-gurat kelelahan, tulang pipi yang mononjol keluar, tubuh yang kurus, kulit yang kering… ah, seketika air mata saya hampir menetes. Di benak saya hanya ada satu nama: bapak.
Bapak memang tidak pernah menampakkan kelelahannya di depan saya. Mungkin begitu juga dengan orang tua kalian. Tapi tahukah kita apa sebenarnya tengah mereka pikirkan? Apa yang mereka lakukan di belakang kita? Malu rasanya jika sudah sebesar ini masih harus jadi beban untuk mereka.
Mending jika segala pengorbanan mereka dapat tergantikan dengan senyum karena melihat kesungguhan kita menimba ilmu. Jika setiap kerja keras mereka dapat tergantikan dengan rasa bangga melihat kita menjelma menjadi seseorang yang “hebat”.
Sudahkan kita seperti itu?
Lamunan saya terbuyarkan oleh cerita si pak sopir yang kembali mengalir lagi. Diceritakannya kisah itu dengan ekspresi yang menarik bagi saya. Karena tahukah kamu, pak sopir tidaklah menceritakannya dengan wajah yang muram. Tapi sebaliknya, dari awal bercerita pak sopir selalu melengkungkan bibirnya. Senyum tanda bahagia nan bangga pada putranya. Sungguh, tidaklah sia-sia perjuangannya karena kini putranya telah menjadi apa yang ia cita-citakan.
Subhanallah, Walhamdulilah..
Tidakkah kita ingin segera mengubah gurat-gurat kelelahan pada orang tua kita menjadi senyuman tanda bahagia atau linangan air mata tanda bangga?
Ah, siapa yang tidak ingin, teman? Rasanya saya ingin cepat lulus. Kamu?

25 maret 2010
Terima kasih pak sopir!

2 comments:

Boku no Blog said...

Blogwalking disini,..
Nice post dan artikel..
Terimakasih tuk sharenya..
Sukses selalu

Unknown said...

yo'a.. sama-sama lulus..
thanks for visit yaaa