Pulang!

9:18 PM Unknown 2 Comments

“Pulang Vi, mumpung masih lajang, udah nikah mah susah mau ketemu mamah teh"

Kata Yuni, salah seorang teman yang sudah nikah. Serius sekali yuni mengatakan itu padaku. Dia tahu benar bagaimana rasanya menahan rindu pada ibu. Saking seriusnya, Yuni menceritakan sepenggal kisah pengorbanan ibunya ketika dia kecil.

“Vi, waktu yuni SD, kan pulangnya hujan gede, yuni nggak bawa payung, tapi ternyata ibu bela-belain ngejemput. Padahal ibu lagi sakit!”

Aku juga pernah mengalami itu. Ketika tinggal di asrama pesantren, jam 11 malam aku menelpon mamah sambil nangis, mengadu bahwa aku sakit. Saat itu juga mamah menjemputku ke garut.
Yuni melanjutkan dengan cerita-cerita lain tentang pengorbanan ibunya. Semua cerita itu, akupun pernah merasakan.

“vi, yang namanya ibu kasih sayangnya tak terukur, tanpa pamrih, tulus. Uni berkata begini karena sekarang yuni juga sudah bisa merasakan.”
Teman sekelasku ini memang sekarang sudah memiliki seorang bayi kecil.
“berbakti, Vi. Mumpung mamah masih ada.” Kata temanku yang lain.

Rasanya jlebb sekali. beberapa orang mengerubuni dan menasehatiku agar memenuhi keinginan mamah agar aku pulang. Seolah aku adalah seorang anak durhaka yang enggan tinggal di rumah. Naudzubillah…

Mamah minta aku pulang. Berminggu-minggu belum sempat pulang. Mamah tidak memaksa, tapi aku tahu mamah mengatakan itu dengan penuh harap. Dan karenanya sahabat-sahabatkupun ikut bertindak.
“Vi, kata hadits juga ibu, ibu, ibu. Coba cari haditsnya ada nggak yang bilang organisasi, organisasi, organisasi.” Kata temanku lagi.

Mungkin dia kesal karena seringkali organisasi menjadi alasanku tak menyempatkan waktu untuk pulang.
Minggu ini tugas kuliah lagi banyak,
minggu ini FLP ada acara,
HIMI ada acara,
Mau rapat,
Seminar,
harus ke sana,
harus ke sini,
harus ngajar, dll…
aku jarang pulang, karena begitu banyak tanggung jawab yang harus kutunaikan disini. Ya, aku berpikir demikian seolah pulang bukanlah tanggung jawab.

Aku ingat bagaimana sebuah film atau iklan di TV menggambarkan seorang anak rantau yang sudah sukses di luar kota. Karenannya si anak sulit menemukan waktu luang untuk pulang menemui ibunya. Sedang nun jauh disana sang ibu tak bosan menatap halaman rumahnya, berharap anak tercinta berlari menuju rumah sambil tersenyum dan melambaikan tangan pada ibunya. Namun harapan baru terwujud ketika mata sang ibu tak mampu lagi terbuka untuk selamanya.

Allah, aku tak mau itu terjadi padaku…

Tapi tanpa bermaksud untuk lagi-lagi menggunakan alasan yang sama, minggu ini memang sedang banyak tugas kuliah, dan hari sabtu aku harus praktek di sekolah, HIMA-HIMI Persis UPI ada rilah, FLP Bandung hari minggu ada Kuliah Kepenulisan, dan ada rapat Silatda.

Tapi mamah memintaku pulang.

Dan teman-temanku ‘memaksa’ agar aku memenuhi keinginan mamah.
Sungguh, akupun ingin pulang. aku tidak ingin menyesal karena tak bisa membahagiakan orang tua. Dan caraku membahagiakan mereka saat ini sebenarnya mudah: aku hanya perlu pulang!

Dan aku pulang.

Dengan membatalkan acara ikut Training yang sebelumnya sudah aku agendakan.
Dengan ridha dari Khilda, temanku yang sekaligus ketua HIMI Persis UPI itu.
“Ida rela Via nggak ikut rihlah bareng himi, gak apa-apa. Pulang aja, Vi. Kasian mamah” katanya tulus.

dan keesokan harinya aku harus menunaikan tugasku sebagai panitia Kuliah Kepenulisan FLP Bandung, entah esok aku sudah ada di Bandung lagi sehingga bisa menunaikan tugasku ini, atau aku akan melakukan hal yang sama; menjelaskan pada rekan-rekan FLP Bandung bahwa aku harus pulang.

selain itu, selepas Kuliah Kepenulisan seharusnya aku langsung caw ke Viaduct, ada agenda merapatkan barisan panitia Silatda I Bandung Raya. Semoga panitia Silatdapun bisa mengerti.

Dan aku pulang. dengan kerinduan yang membuncah, dengan rasa bersalah karena seringkali tidak memprioritaskan keluarga. Meski kata salah satu temanku,
“Coba dikomunikasikan dengan baik, pasti akhirnya mereka bisa mengerti dan malah jadi bangga karena anaknya bisa aktif, bermanfaat bagi banyak orang”

Ya, benar sekali. Tapi aku jadi berpikir. Jika aku bisa memberikan penjelasan pada orangtuaku bahwa aku harus mengerjakan ini dan itu terkait tanggung jawabku dalam berorganisasi,  mengapa aku tidak bisa menjelaskan pada rekan-rekanku di organisasi atau kepanitian itu bahwa akupun harus meluangkan waktu untuk mengerjakan ini dan itu terkait tanggung jawabku sebagai anak?

Jika aku bisa mengatakan bahwa kiprahku dalam berorganisasi adalah menebar manfaat untuk banyak orang, mengapa aku tidak bisa mengatakan bahwa berbakti pada orang tua adalah bentuk pengabdian yang sangat diutamakan oleh agama?

Ridhallaahu fii ridhal walidain…

Itu saja alasanku. Alasan yang semakin memperkuat alasanku, alasan orangtuaku, dan alasan teman-temanku yang keukeuh agar aku pulang.

Sambil menulis ini sebagai bentuk penjelasan pada sahabat-sahabat Himi Persis UPI, FLP Bandung dan panitia Silatda, terbersit dalam benakku sebuah pertanyaan tajam,

“akan jadi ibu seperti apa kelak kamu, Vi, apa ibu yang tidak akan pulang-pulang karena segudang aktivitasmu di luar, meski anakmu membutuhkan senyummu di setiap penggalan harinya, membutuhkan persetujuanmu untuk setiap aktivitas positifnya, membutuhkan teguranmu untuk setiap kesalahan kecilnya, membutuhkan belaianmu sebagai pelecut motivasinya, dan membutuhkan bimbinganmu dalam setiap perkembangannya? Apa sosok ibu seperti itu yang akan kau bentuk dalam dirimu sejak sekarang?

Tidak! Naudzubillahi min dzalik…

Aku hanya perlu satu detik untuk beristigfar. Dan setelah itu, pulang.


Memoar minggu lalu, 26 November 2011

2 comments: