Kelabu

3:15 AM Unknown 0 Comments


Ini pengalaman saya yang terjadi di sekitar kampus tercinta. Mungkin kawan-kawan lain ada yang pernah mengalami juga. Seorang bapak menghentikan langkah saya ketika hendak pergi ke warnet yang memang jauh dari kostan.
“Maaf neng, mau Tanya.” katanya
“Iya pak, mangga”
“Neng kalau kampung daun masih jauh dari sini gak ya?”
“Hmm… kurang tau ya pa.”
“Parompong, neng”
“Oh… iya masih jauh”
“Neng bisa tolong bapak tiga ribu?” sambungnya dengan wajah memelas.
“Oh maaf pak, saya sedang buru-buru” tolak saya sambil setengah berlari menjauhi bapak tersebut. Mungkin kesannya saya memang pelit, gak empati, tegaan, jahat, dan semua predikat negatif lain deh!
Sebenarnya saya yakin bapak tersebut bukan orang yang jahat dalam artian penculik yang akan menjual saya ke singapura. Saya bersikap seperti tu (pelit, judes, dll) semata karena kalimat pertanyaan yang saya dengar dan sosok seorang bapak yang saya lihat hari ini sama persis dengan apa yang saya dengar dan saya lihat ketika semester 3.
“neng, kalo parompong masih jauh gak ya?” tanyanya kala itu.
“wah masih harus naik angkot satu kali lagi, pak.”
“oh gitu ya? Neng bias tolongin bapa gak? Bapak mau ke tempat sodara, uang bapak tinggal seribu lima ratus lagi. Kalau ada bapak boleh ditolongin tiga ribu rupiah saja neng?”
Hati siapa yang tidak terketuk, saya kira, ketika dihadapan kita jelas-jelas ada seorang musafir yang membutuhkan kita, dan keadaan kitapun sangat mampu untuk mengulurkan tangan untuknya. Saat itu, dalam pikiran saya, semoga bapak tersebut sampai di tempat sodaranya dengan selamat tanpa kekurangan ongkos lagi.
Itu kali pertama.
Kali kedua, bapak yang sama dengan kalimat yang sama saya temui lagi pada semester berikutnya. Dan hari ini, tepatnya tadi pagi adalah kali ketiga bapak itu “menyapa” saya. Heran saya, apa orang itu nggak ingat ya kalau saya pernah menjadi orang yang begitu percaya pada actingnya? Maaf pak, saya tidak akan tertipu lagi.
Bukan uang tiga ribu rupiah yang saya permasalahkan. Saya kira begitu juga pendapat teman-teman lain yang pernah mengalaminya.
Memang, dalam memberi sepatutnya kita tidak pilih-pilih, karena tentu kitapun tidak ingin Allah akan memperhitungkan dahulu amalan kita sebelum menganugerahkan nikmatnya. Lagi pula dengan meminta seperti itu, kita tahu benar bahwa peminta tersebut memang sedang membutuhkan. 
Tapi bagi saya, memberi bantuan pada orang seperti itu berarti membenarkan perilakunya, sedangkan kita mengerti bahwa menipu adalah perbuatan yang salah. Kita tidak mungkin bukan, membenarkan perilaku penipuan?
Sebenarnya, tadi pagi inginnya saya mengatakan secara prontal pada bapak itu bahwa saya sudah tahu niat buruknya. Inginnya juga saya bertanya tentang jumlah orang yang ia kelabui dalam satu hari, juga tentang penghasilan yang ia dapatkan setiap hari dari “pekerjaannya”, saya juga ingin bertanya tentang motifnya, berapa jumlah anaknya, jumlah istrinya, serta jumlah keperluan sehari-harinya yang membuatnya harus mengelabui setiap orang (mungkin mahasiswa) yang ia temui di jalan-jalan sepi.
Saya lihat bapak tersebut sehat-sehat saja. Jika dilihat dari fisik tentu saja. Karena secara psikis, orang seperti itu tidak bisa dikatakan sehat.  Secara psikologis orang seperti ini tidak memiliki semangat untuk bekerja secara layak. Mungkin minimnya lapangan pekerjaan serta tidak adanya keterampilan dapat dijadikan alasan. Ditambah lagi dengan “pekerjaan”nya yang sekarang ini ia merasa mendapatkan kepuasan secara materi, dengan hanya bermodalkan jalan-jalan di tempat yang sepi kemudian mengumbar keprihatinannya sebagai seorang musafir yang kehabisan bekal.
Apapun alasannya, yang salah tetaplah salah, bukan? Al-halaulu bayyinun wal haramu bayyinun. Yang halal itu jelas begitupun dengan yang haram. Saya hanya berharap bapak tersebut atau siapapun yang berperilaku demikian, dapat memutar jalan dengan mengikuti petunjuk dari kata hatinya. Jika saja orang tersebut (atau kita sekalipun) tidak mengetahui hukum dari suatu perkara, sesungguhnya kata hati kita akan mengatakan kebenarannya.

Ihdinaa shiraathol Mustaqiim
Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak hanya mengetahui, tapi juga dapat mengamalkan segala perintah-Nya.

0 comments: