Gaul sama Ibu-ibu

9:30 PM Unknown 0 Comments

Di sini saya ingin mengakui bahwa saya adalah orang yang nggak gaul. Nggak gaul –yang menurut saya- dalam arti yang sebenarnya. Bayangkan saja, nama tetangga sebelah rumah saja saya tidak tahu. Meskipun sebagian besar dari mereka umumnya mengenali saya (huh, narsis). Tapi begitulah, masa kecil saya dihabiskan dalam sangkar emas. Dikurung di dalam rumah dengan alasan pergaulan lingkungan sekitar kurang sehat untuk tumbuh kembang saya. Saya masih ingat bagaimana mamah melarang saya main karena bahasa teman-teman sebaya saya yang seringkali nyeletuk menyebut nama binatang. Sekolahpun, sengaja mamah menempatkan ke sekolah yang tempatnya jauh, yang beliau rasa kualitasnya lebih baik dibandingkan sekolah dasar dekat rumah. Jadilah saya anak asing di kampung sendiri dengan teman tara-rata anak kampung lain.

Maaf kalau saya jadi bernostalgia ria, pengalaman ini saya ungkapkan karena tiada lain semuanya menjadi sangat berkaitan dengan kehidupan saya selanjutnya.

Baiklah, itu sekilas mengenai lingkup pergaulan saya di rumah, dengan ruang yang begitu sempit. Karenanya, di usia saya yang sudah berkepala dua ini, saya semakin menyadari pentingnya bersosialisasi. Terlebih selama tinggal di asrama pesantren, maupun di kostan setelah memasuki bangku kuliah, saya sangat senang berteman dengan banyak orang. Memasuki berbagai komunitas untuk memperluas pergaulan. Namun ada yang saya lupakan: kampung saya. Ya, sebelum hari ini, saya tidak mengenal lebih dekat seorangpun tetangga saya.

Untuk memperbaiki kesalahan itu, ramadhan ini saya bermaksud untuk mengeksiskan diri di lingkungan sendiri. Mumpung libur panjang.

Hari pertama ramadhan saya memberanikan diri ikut tadarus Quran ibu-ibu di mesjid besar kampung. Saya menyadari betapa beberapa ibu memerhatikan saya sambil mungkin bertanya-tanya dalam hati. “Siapa ya?” “Anaknya siapa?” “Koq cantik amat ya?” hehe… becanda ah!

Hal itu saya ketahui karena benar saja, setelah acara pengajian usai, dan saya menyalami beliau-beliau satu-satu, banyak sekali pertanyaan yang mereka lontarkan. Mulai dari nama, sekolah di mana, semester berapa, belajar ngaji di mana, sekarang tinggal di mana, SEDANG LIBUR berapa lama, dan…. Sudah punya calon apa belum? Hihi…. Antusias sekali para ibu itu. Maklum, ada anak gadis nyasar ke pengajian ibu-ibu yang rata-rata sudah beranak cucu.

Namun ada satu pertanyaan yang membuat saya sangat terkesan dan merasa senang. Kurang lebih bunyi pertanyaannya seperti ini
“Nenk, kersa teu mantosan ibu ngajar PAUD?” katanya dengan berbahasa sunda yang baik dan benar dan sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.

Selidik punya selidik, setelah bertanya pada mamah, ternyata ibu tersebut di kampung ini adalah pendatang. Bu Nur saya menyebutnya.

Bu Nur tinggal di  kampung ini semenjak menikah dengan salah satu pemuda kampung ini yang tiada lain adalah tetangga saya. Yang membuat saya terkagum, meskipun beliau bukan asli orang sini, beliau mampu menghidupkan mesjid dengan berbagai aktivitas keagamaan yang beliau rintis sendiri, mulai dari pengajian ibu-ibu, tahsin Quran, tadarus Quran, juga madrasah diniyah hingga PAUD untuk anak-anak.

Saya belum begitu tahu proses yang beliau lalui dalam sepak terjangnya selama ini. hanya saja dari kabar yang saya dengar lagi-lagi dari mamah, beliau, dengan segala program barunya dapat diterima masyarakat karena sifatnya yang baik budi, ramah, dan pandai membawa diri.

Sekilas saja tentang Bu Nur. Dari cerita tentang beliau yang inspiratif ini, saya teringat akan mimpi saya untuk berkontribusi lebih dalam dunia pendidikan. Bukan hanya sebatas menjadi mahasiswa yang berarti terlibat dalam proses transferensi pendidikan, tapi juga saya berharap untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menjadi guru yang ideal, serta saya sangat berharap agar dapat mendirikan sebuah lembaga pendidikan islami yang berkualitas dan gratis.
Untuk menggapai mimpi tersebut, ibaratnya tentu tidak bisa langsung meraih puncak tertinggi tanpa mendaki bukit-bukit kecil yang tersusun dibawahnya. Karenanya, bukit pertama yang harus saya taklukan adalah dengan menjadi guru.

Dengan turun langsung ke lapangan untuk mengajar, saya bisa mendapatkan pemahaman dan tentu pengalaman yang belum saya dapatkan dibangku kuliah. Maklum belum KKN.

Kendalanya selama ini adalah, cukup sulit bagi saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di sekolah, karena program studi yang saya ambil di kampus bukanlah program studi mata pelajaran, melainkan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang tidak diajarkan di bangku sekolah.

Sempat mendapatkan tawaran untuk mengajar TK, namun yang menjadi kendala adalah waktu. Jadwal sekolah anak TK tentu pagi-pagi, sedangkan jadwal kuliah sayapun sama: selalu pagi.

Sempat juga mengajar bahasa arab di salah satu tempat kursus di Cimahi. Namun karena peminatnya tak sebanyak bahasa inggris hingga akhirnya siswa yang tersisa hanya 2 orang, lembaga kursus memutuskan untuk menutup kelas bahasa arab.

begitulah, sejak saat itu saya selalu berharap untuk dapat mengajar apapun di manapun sesuai kompetensi yang saya miliki, akan tetapi semuanya urung ketika berkaitan dengan kesepakatan jadwal mengajar.

Sampai hari ini, ketika saya mencari kegiatan kesana-kemari untuk mengisi liburan panjang selama ramadhan, tawaran itu datang. Saya memiliki peluang besar untuk mengaplikasikan pengetahuan saya dengan mengajar PAUD!
Ditambah lagi saya suka anak-anak. (mungkin karena saya ‘katanya’ kekanak-kanakan, hehe)

Dalam jangka waktu sepersekian detik, dengan tanpa berpikir panjang, sambil melontarkan senyum termanis yang saya miliki, pun sambil bersyukur dalam hati, mantap saya menjawab,
“Mangga Bu, insya Allah tiasa. Kaleresan nuju milari kegiatan salami liburan.”

Sepulang pengajian hari pertama ramadhan itu, dalam perjalanan menuju rumah, saya sibuk menerka, hikmah dibalik apakah ini?

Mungkin hikmah silaturahmi. Mungkin juga hikmah memakmurkan mesjid, atau hikmah dari…. ah! Tak perlu menghitung nikmat Allah atau menebak alasan Allah memberi kita kebahagiaan. Allah maha segalanya dan itu cukup menjadi alasan.
Sungguh, buih di lautanpun takkan mampu menganalogikan segala nikmat yang begitu mudah Ia beri secara cuma-cuma. Gratis!

Sedangkan hikmah tersendiri bagi saya pribadi adalah untuk tidak ragu mencoba hal-hal baru, selama itu baik. Karena keberanian untuk mengantongi rasa malu untuk eksis di lingkungan rumah itulah, akhirnya saat ini saya berani mengatakan bahwa saya bukan orang yang nggak gaul lagi. Kenalan saya di sekitar rumah sekarang banyak: ibu-ibu semua!




Awal ramadhan,
Ngetik sambil ngabuburit
Diiringi ‘For The Rest of My Life’nya Maher Zein.

0 comments: