Renungan Sejenak tentang Poligami

1:13 AM Unknown 0 Comments

Rabbi… bahkan ulama sekaliber XXXXX-pun bercerai…
Tokoh besar Islam lain, XXXXX… bercerai kembali dengan salah satu istrinya setelah “mencoba” berpoligami…
Bukan ingin tahu masalah mereka, tapi…
Apakah yang menjadi permasalahan intinya?
Apa ini masalah cinta yang sudah mulai pudar…
Atau pertanda kelemahan hati dalam menghadapi kondisi diri sebagai seorang istri yang diduakan?
Atau karena adanya suatu tanggung jawab yang tidak tertunaikan?
Yang kufahami… pernikahan itu bukan permasalahan cinta, tapi tanggung jawab. Hal apakah yang membuat orang-orang yang faham agama sekalipun, bercerai dan memutuskan untuk melepaskan tanggung jawab itu?

Rasa tidak mampu kah?
atau ada faktor lain yang berkaitan dengan kebahagiaan?
Lantas, cukupkah bahagia manjadi alasan sepasang suami istri untuk tetap mempertahankan bahtera mereka… lalu berpisah dengan alasan tidak adanya kebahagiaan itu?
Tadinya kupikir, jika agama adalah alasan terkuat yang menuntun kita memilih seseorang sebagai pasangan hidup… tak akan ada alasan yang membuat  keduanya dapat terpisahkan, kecuali… agama itulah alasannya.
Tadinya kupikir, jika agama adalah alasan terkuat yang membuat kita memilih seseorang sebagai pasangan hidup… maka seluruh piranti pernikahan sudah terangkum di dalamnya. Baik itu tanggung jawab, kesetiaan, kepemimpinan… semuanya.

Ah,
Mungkin sejauh apapun aku menebak alasan apa yang membuat suatu bahtera rumah tangga retak, tak akan kudapat jawabannya karena aku belum belum menyelaminya.

Tapi Rabbi…
Jika selama ini aku begitu senang bersenda gurau dengan  ungkapan-ungkapan bahwa aku sudah ingin menikah…  sekarang  tidak lagi.
Sepertinya itu bukanlah ungkapan yang tepat.
Mungkin lebih bijak jika dirubah menjadi…
Aku siap menikah.
Aku siap mengemban tanggung jawab
tanggung jawab sebagai pasangan hidup seseorang dengan segala tugasnya…
tanggung jawab sebagai menantu seseorang dengan segala tugasnya…
tanggung jawab sebagai bagian baru dalam sebuah keluarga besar yang asing, dengan segala tugas dan tradisinya…
tangung jawab sebagai anak yang meskipun telah menikah, namun tidak mengurangi bakti pada orang tua…
tanggung jawab sebagai orang tua yang mampu mendidik putra putrinya sebagai generasi qurani…
serta siap menjalani hari-hari dalam bingkai pernikahan yang –katanya- tidak selamanya indah…

biarlah, itu adalah sebuah fitrah.
Untuk saat ini, sebelum masa itu datang, tentu aku harus mempersiapkan segalanya, mengembangkan diri dalam berbagai kompetensi yang kelak harus dikuasai.
Dan mempersiapkan diri untuk memilih (atau dipilih?)
memilih siapapun dia yang bukan hanya mencintaiku, tapi mampu bertanggung jawab atasku,
siapapun dia yang bukan hanya mampu menjagaku, tapi juga menjaga hatiku
siapun dia yang akan selalu kubutuhkan, juga membutuhkanku sebagai peneguhnya.
siapapun dia yang mampu membuatku merasa (dan harus) seperi Aisyah di samping Muhammad…
dan seperti Fathimah di samping Ali
hanya Fathimah disamping Ali

0 comments: